Guru Agama Harus Contoh Dakwah Damai Sultan Babullah

Kawasan Indonesia Timur memiliki teladan dalam dakwah Islam yang damai dan toleran. Salah satunya adalah Sultan Babullah. Sebagai Raja, Sultan Babullah dikenal sukses dalam dakwah karena pendekatannya yang mengedepankan cara-cara damai dan dialog antara Kesultanan Ternate dengan tokoh-tokoh Kristini dan agama lainnya.

Guru Agama Harus Contoh Dakwah Damai Sultan Babullah

Karenanya, sudah semestinya para guru Pendidikan Agama Islam (PAI), khususnya di Ternater dan Papua untuk mencontoh pendekatan dakwah Sultan Babullah. Pesan ini disampaikan Pgs. Direktur Pendidikan Agama Islam pada Sekolah M. Nur Kholis Setiawan saat memberikan pembekalan kepada peserta Workshop Peningkatan Kompetensi Guru PAI di Sekolah di Sorong, Sabtu (24/09).

Diikuti para guru PAI di kawasan Indonesia Timur, kegiatan ini menjadi bagian dari upaya Kementerian Agama dalam meningkatkan kompetensi Guru PAI, khususnya dalam memperkuat wawasan keagamaan yang damai sebagaimana dicontohan oleh para penyebar Islam di kawasan Papua dan Maluku.

Menurut Nur Kholis Setiawan, keberhasilan dakwah Islam Sultan Babullah tidak terlepas dari kesuksesannya dalam memadukan fiqih dan tasawwuf. Dua entitas itu menjadi penentu, karena Islam yang sampai di sini adalah Islam yang bercorak fiqih dan tasawuf. 
"Fiqih mengajarkkan cara berfikir kreatif dan memberi solusi atas berbagai masalah, sementara tasawuf mengajarkan tatanan masyarakat dan harmoni sosial," ujarnya.

Dalam tradisi literasi Muslim, pendekatan dakwah Sultan Babullah dapat ditelusuri rujukannya pada karya-karya ulama terdahulu, salah satunya kitab Sulamut Taufiq yang ditulis pada sekitar abad 16 - 17. Kitab Fiqih bercorak sufistik ini telah diberikan syarah oleh dua ulama nusantara yaitu Syaih Nawawi Al-Bantani (Mirqatu Su'udit-Tashdiq), dan Mbah Abdul Hamid Pasuruan (Nadzam Sulamut Taufiq). Kedua ulama tersebut juga dikenal sebagai tokoh sentral dalam membangun harmoni di nusantara ini. Lebih dari itu, keduanya adalah guru bagi ulama masa kini yang terus berproses dalam tradisi belajar, mengajar, dan mengamalkan.

"Fahadza juz'un latiifun yassarahu Allahu ta'ala fi-ma yajibu ta'allumuhu wa ta'limuhu wal-'amalu bihi lil 'aami wal khaasi (ini adalah bagian (kitab) sederhana. Semoga Allah memudahkan bagi orang yang mempelajari, mengajarkan, dan mengamalkan baik untuk kalangan umum dan kelompok khusus)," demikian M. Nur Kholis mengutip salah satu penggalan kalimat pada muqaddimah Kitab Syarah Sulamut Taufiq yang berjudul Mirqatu Su'udi Tashdiq karya Syeh Nawawi Al Bantani.

Menurutnya, kalimat tersebut mengandung pesan tentang kewajiban belajar, mengajar, dan mengamalkan. Ketiga terminologi itu terkait erat dengan dunia pendidikan, khususnya tugas bagi para pendidik (guru). Para Guru tidak mengkin bisa menjadi guru yang baik dan professional, jika ia tidak mempunyai tradisi belajar atau meningkatkan kapasitas dirinya.

"Guru tidak boleh berhenti untuk terus melakukan peningkatan kualitas, selalu mengupgrade pengetahuan, pengalaman dan ketrampilannya sehingga tidak ketinggalan zaman," katanya.

Pesan kedua dari kitab itu adalah keharusan guru untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dengan kreatif dan innovatif. Karena menurut Nur Kholis Setiawan, para siswa/i sekarang tentu berbeda dari pada masa ketika bapak-ibu pertama kali menjadi guru. Sekarang sudah banyak teknologi informasi. Indonesia menjadi pengguna sepuluh besar pengguna medsos di dunia. Anak-anak kita bisa jadi fisiknya ada di Sorong, tetapi imajinasinya sedang di New York atau belahan dunia lainnya.

Di siniah diperlukan perubahan paradigmatik tentang cara menyampaikan (mengajarkan). "Makanya guru wajib selalu meningkatkan kapasitas diri, bagaimana cara mengajarnya sehingga tantangan yang dihadapi anak-anak hari ini dapat diimbangi dengan baik," ujarnya.

Kewajiban guru ketiga adalah mengamalkan ilmunya. Guru PAI tidak semata berada dalam level kognitif tetapi juga harus menguasai domain afeksi dan psikomotorik. "Seorang pendidik dituntut menjadi uswah hasanah, role model bagi para murid bahkan masyarakatnya," tandas Nur Khoolis.

"Peran bapak dan ibu Guru PAI adalah menjadikan mereka menjadi muslim yang beneran, makanya harus upgrading (konowledge), menyampaikan (mengajarkan), dan memberikan uswah hasanah atau teladan yang baik," tambahnya.

Sementara itu, Abdul Rumkel, Kepala Bidang Pendidikan Islam Kanwil Kementerian Agama Provinsi Papua Barat, menyambut baik prakarsa Direktorat PAIS dalam menyelenggarakan kegiatan peningkatan kompetensi Guru PAI di Sekolah, khususnya di wilayah Papua Barat dan Papuan. Bagi Rumkel, "Guru harus selalu disegarkan pengetahuan dan ketrampilannya dalam menghadapi tantangan global".

Senada dengan hal itu, Unang Rahmat, Kasubdit PAI pada SMA bertekad agar guru-guru PAI termasuk di Papua Barat dan Papua harus mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal meningkatkan kualitas diri dengan wilayah Indonesia lainnya. Agar bisa melibatkan lebih banyak peserta, lanjutnya, lokasi kegiatan sengaja diselenggarakan di Sorong. "Kalau diselenggarakan di Jakarta tentu tidak akan banyak guru yang terlibat di Papua Barat ini dan biayanya juga tidak sedikit," tandasnya.

Subscribe to receive free email updates: