Tafaqquh Fiiddin QS Attaubah : 122
A. Tinjauan Umum Tentang Surat At-Taubah Ayat 122.
1. Gambaran Tentang Surat At-Taubah
Surat At-Taubah adalah termasuk golongan surat Madaniyah, yaitu surat yang diturunkan sesudah Nabi hijrah ke Madinah. Adapun ayatnya berjumlah 129, sehingga surah ini dinamakan juga surah Mi’ah, yaitu surah yang memiliki ayat lebih dari seratus.
Al-Ustadz Ahmad Musthofa Al-Maraghi memberikan nama surat ini dengan “Al-Fadlilah” karena surat ini menyingkap rahasia kaum munafiq dengan kekufuran dan niat buruk yang tersimpan dalam hati mereka. Adapun nama yang lain adalah “Al-Mudamdimah” dan “Al-Mukhziyah”.[1]
Imam Muhammad Al-Razi memberikan nama surat ini dengan 12 nama, yaitu : Bara’ah, At-Taubah, Al-Muqasyqasyah, Al-Maba’tsarah, Al-Musyarridah, Al-Mukhziyah, Al-Fadlihah, Al-Mutsirah, Al-Haafirah, Al-Munkilah, Al-Mudamdimah, dan Surat Al-Adzab. Nama-nama tersebut didasarkan pada isi yang terkandung dalam surat ini, misalnya : di dalamnya terdapat masalah taubatnya orang-orang mukmin, yaitu terpeliharanya orang-orang mukmin dari sifat-sifat orang munafik, disamping itu, di dalam surat ini juga disebutkan tentang penyebaran rahasia orang-orang munafik, membahasnya, dan mempengaruhinya. Dan membukakan rahasia orang-orang munafik serta menjelaskannya, kemudian Allah membuat mereka lari dan setelah itu membinasakan mereka.[2]
Sebagian ayat-ayat Surat At-Taubah diturunkan sesudah Perang Tabuk, perang yang terakhir diikuti oleh Rasulullah SAW. Sedangkan awal surat ini diturunkan pada tahun ke 9 Hijriyah, sesudah penaklukan Makkah. Imam Bukhari meriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib, bahwa ayat terakhir yang diturunkan adalah : يَسْتَفْتُوْنَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيْكُمْ فِىالْكَلاَلَةِ (النسـاء, 176) Sedangkan surat terkhir yang turun adalah Al-Bara’ah[3].
Surat At-Taubah (Al-Bara’ah) adalah satu-satunya surat dalam Al-Qur’an yang tidak diawali dengan basmalah, dan surat ini diletakkan sesudah Surat Al-Anfal. Adapun alasan-alasannya menurut Al-Razi ada enam pendapat, yaitu :
a. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Ketika turun surat ini, Nabi bersabda : “Letakkanlah Surat ini (At-Taubah) pada tempat seperti itu”. Surat At-Taubah merupakan akhir surat yang diturunkan, setelah itu Nabi wafat dan belum menjelaskan letaknya. Adapun ceritanya menyerupai cerita yang terdapat dalam Surat Al-Anfal. Sesungguhnya Nabi memerintahkan untuk meletakkan surat ini sesudah Surat Al-Anfal itu karena adanya wahyu. Dan menghilangkan Bismillahirahmanir rahiim pada awal surat ini juga karena wahyu.
b. Pada masalah ini ada pendapat yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’b, bahwasanya surat ini diletakkan sedemikian itu adalah karena pada surat Al-Anfal disebutkan masalah perjanjian-perjanjian, sedangkan pada Surat Al-Bara’ah berisi tentang pelanggaran janji-janji, maka diletakkan salah satunya berdampingan dengan yang lain.
c. Sesungguhnya para sahabat berbeda pendapat tentang surat Al-Anfal dan surat At-Taubah, apakah satu surat atau dua surat ? Sebagian sahabat berpendapat bahwa Surat Al-Anfal dan At-Taubah merupakan satu surat, karena keduanya diturunkan dalam masalah perang dan keduanya tergolong surat “Sab’ut Thiwal” (tujuh surat yang panjang). Sebagiah sahabat berpendapat bahwa surat Al-Anfal dan At-Taubah adalah dua surat, kerana ketika nampak ada perselisihan pendapat diantara mereka, maka mereka meninggalkan majlis itu. Ini sebagai peringatan yang menunjukkan bahwa surat ini adalah dua surat. Dan tidak dituliskannya basmalah di antara keduanya ini berarti menunjukkan pada orang yang berpendapat satu surat.
d. Pada bab ini sesungguhnya Allah Ta’ala menutup Surat Al-Anfal dengan jawaban bersatunya orang-orang Mukmin dengan Mukmin lainnya dan putusnya orang-orang kafir secara keseluruhan, kemudian Allah menjelaskan maksud ini dengan firmannya بَراءَةٌ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ maka jika demikian, Allah menjelaskan kalimat itu dan menguatkannya, serta menetapkannya, maka patutlah terjadi pemutusan hubungan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir. Dengan pemutusan hubungan ini berarti menunjukkan bahwa ini adalah dua surat. Dan tidak ditulisnya “Bismillahir Rahmaanir Rahiim” di antara keduanya sebagai peringatan bahwa makna ini (surat AT-Taubah) itu menjelaskan pada makna surat Al-Anfal.
e. Ibnu Abbas pernah bertanya kepada Ali ra., tentang alasan mengapa “Bismillahir Rahmaanir Rahiim” tidak ditulis di antara keduanya, Ali ra. menjawab : karena “Bismillahir Rahmaanir Rahiim” itu menunjukkan keadaan yang aman, dan surat ini diturunkan dengan pedang (dalam keadaan tidak aman), pelanggaran terhadap janji-janji dan tidak menunjukkan pada keadaan yang aman. Pendapat ini dikuatkan dengan pendapat Sufyan bin Uyainah, yang menguatkan dengan firman Allah : وَلاَ تَقُوْلُوْا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلاَمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا maka dikatakan kepadanya (Ali) : Bukankah Nabi saw. menulis kepada orang kafir harbi “Bismillahir Rahmaanir Rahiim”, maka Ali ra. menjawab : “Karena sesungguhnya hal itu sebagai permulaan dakwah Nabi pada orang-orang kafir untuk percaya kepada Allah dan tidak melanggar janji-janji mereka”. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Nabi SAW. menulis pada akhir suratnya : َالسَّلاَمُ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى (semoga keselamatan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk). Adapun pada Surat Al-Taubah ini mengandung saling membunuh dan melanggar janji, maka jelaslah perbedaannya.
f. Para Sahabat berkata : Barangkali ketika Allah mengetahui sebagaian manusia berselisih dalam masalah apakah “Bismillahir Rahmaanir Rahiim” itu merupakan ayat dari Al-Qur’an ataukah tidak ? Maka Allah memerintahkan untuk tidak menulisnya pada surat ini. Hal ini sebagai peringatan atas adanya “Bismillahir rahmaanir Rahiim” itu sebagai ayat dari permulaan tiap-tiap surat, dan sesungguhnya ketika Basmallah tidak menjadi ayat dalam surat ini, bahkan tidak ditulis, semua itu menunjukkan bahwa kalau ia ditulis pada tiap-tiap awal surat, maka wajib menjadi ayat pada tiap-tiap surat.[4]
R.H.A. Soenarjo, sebagai ketua Tim Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an Departemen Agama RI mendukung pendapat ke 5 (lima) di atas, tentang alasan mengapa Surat At-Taubah tidak diawali dengan basmalah dan diletakkan sesudah surat Al-Anfal. Ia menggambarkan hubungan antara Surat At-Taubah dengan Surat Al-Anfal sebagai berikut :
a. Perjanjian yang dikemukakan dalam surat Al-Anfal dijelaskan dalam Surat At-Taubah, terutama hal-hal yang berhubungan dengan pengkhianatan musuh terhadap janji-janji mereka.
b. Sama-sama menerangkan tentang memerangi orang-orang musyrikin dan ahli kitab.
c. Surat Al-Anfal mengemukakan bahwa yang mengurus dan memakmurkan “Masjidil Haram” adalah orang-orang yang bertaqwa, sedangkan Surat At-taubah menerangkan bahwa orang musyrik tidak pantas mengurus dan memakmurkan masjid, bahkan mereka akan menghalang-halangi orang-orang Islam terhadapnya.
d. Surat Al-Anfal menyebut sifat-sifat orang-orang yang sempurna imannya dan sifat-sifat orang kafif. Kalau pada akhir surat diterangkan pula tentang hukum perlindungan atas orang-orang muslim yang berhijrah. Hal yang serupa dikemukakan pula oleh Surat At-Taubah.
e. Surat Al-Anfal menganjurkan agar bernafkah di jalan Allah, sedangkan Surat At-Taubah menegaskan sekali lagi. Begitu pula dalam Surat Al-Anfal juga diterangkan tentang penggunaan harta rampasan perang, sedangkan Surat At-Taubah menerangkan penggunaan zakat.
f. Surat Al-Anfal mengemukakan tentang orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya, kemudian Surat At-Taubah menerangkan lebih luas.[5]
Dari uraian di atas, jelas bahwa Surat At-Taubah merupakan satu-satunya surat yang tidak dimulai dengan basmalah. Kemudian bagaimana seandainya seorang qari’ membaca basmalah pada awal atau di pertengahan surat ? Untuk menjawab masalah ini ada beberapa pendapat, sebagai berikut :
a. Pada umumnya para ahli qiraat sependapat untuk meninggalkan bacaan basmalah pada permulaan Surat At-Taubah, karena tidak tertulis di dalam mushaf Al-Imam, bahkan ada yang menyatakan ijma’, kecuali Ibnu Mundzir. Dia membaca basmalah pada awal surat ini, karena mengikuti mushaf Ibnu Mas’ud (yang sudah tidak ada lagi). Menurut Ashim, membaca basmalah pada permulaan Surat At-Taubah (Bara’ah) dengan maksud untuk mengambil berkah dikiaskan hukumnya kepada hukum disunatkan membaca basmalah setiap memulai pekerjaan yang baik-baik.
b. Adapun membaca basmalah tidak pada permulaan Surat At-Taubah (Bara’ah) tidak ada keterangan dari ulama’ahli qiraat yang terdahulu. Berdasarkan hal itu, Imam yang lain menyatakan hukumnya “jawaz” (boleh seperti bolehnya membaca basmalah pada ayat yang lain yang letaknya tidak pada permulaan surat.[6]
Menurut R.H.A Soenarjo, surat ini dinamakan “At-Taubah” yang berarti pengampunan berhubung kata “At-Taubah” berulang kali disebut dalam surat ini. Dinamakan juga dengan “Bara’ah” yang berarti berlepas diri, yang di sini maksudnya pernyataan pemutusan perjanjian damai dengan kaum musyrikin.
Disamping kedua nama yang masyhur ini ada lagi nama lain yang merupakan sifat dari surat ini.
Berbeda dengan surat-surat yang lain, maka pada permulaan surat ini tidak terdapat basmalah, karena surat ini adalah pernyataan perang total dengan arti bahwa segenap kaum muslimin dikerahkan untuk memerangi seluruh kaum musyrikin, sedangkan basmalah bernafaskan perdamaian dan cinta kasih Allah.
Surat ini diturunkan sesudah Nabi Muhammad SAW. kembali dari peperangan Tabuk yang terjadi pada tahun 9 H. Pengumuman ini disampaikan oleh Saidina Ali ra. pada musim haji tahun itu juga.
Selain dari pernyataan pembatalan perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu, maka surat ini mengandung pula pokok-pokok isi sebagai berikut :
a. Keimanan : Allah selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang beriman ; pembalasan atas amalan-amalan manusia hanya dari Allah ; segala sesuatu menurut sunnatullah ; perlindungan Allah bagi orang-orang yang beriman ; kedudukan Nabi Muhammad SAW. di sisi Allah.
b. Hukum-hukum: Kewajiban manafkahkan harta ; macam-macam harta dalam agama serta penggunaannya ; jizyah ; perjanjian dan perdamaian ; kewajiban umat Islam terhadap Nabinya, sebab-sebab orang Islam melakukan perang total ; beberapa dasar politik kenegaraan dan peperangan dalam Islam.
c. Kisah-kisah ; Nabi Muhammad s.a.w. dengan Abu Bakar ra. di suatu tempat di bukit (Gua Tsur) ketika hijrah, Perang Hunain (Perang Authas) atau Perang Hawazin; dan Perang Tabuk.
d. Dan lain-lain ; Sifat orang yang beriman dan tingkatan-tingkatan mereka.[7]
Surat At-Taubah juga diletakkan sebelum Surat Yunus, hal ini juga karena ada kaitan antara Surat At-Taubah dengan Surat Yunus, walaupun tidak sebanyak hubungannya dengan Surat Al-Anfal. Adapun hubungan antara Surat At-Taubah dengan Surat Yunus adalah :
a. Akhir surat At-Taubah ditutup dengan menyebutkan tentang risalah Nabi Muhammad SAW., dan hal-hal yang serupa disebutkan pula pada akhir Surat Yunus.
b. Surat At-Taubah menyebutkan keadaan orang-orang munafik serta menerangkan perbuatan mereka di waktu Al-Qur’an diturunkan, sedangkan Surat Yunus menerangkan sikap orang kafir terhadap Al-Qur’an.[8]
Demikian gambaran secara umum Surat At-Taubah dan hanya dikemukakan garis-garis besarnya saja. Semoga akan membantu pembaca dalam memahami isi Surat At-Taubah secara umum dan pada ayat 122 pada khususnya.
2. Latar belakang turunnya ayat 122 dalam Surat At-Taubah
Sebagaimana telah diketahui bahwa tidak setiap ayat dari Al-Qur’an itu ada sebab-sebab turunnya (sababun nuzul). Ada ayat yang memiliki sababun nuzul bahkan ada bagian dari ayat (setengah ayat) yang memiliki sababun nuzul, tetapi juga ada ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak memiliki sababun nuzul.
Khusus bagi ayat-ayat yang berbicara tentang hukum, kebanyakan ada sebab-sebab turunnya ayat. Seperti hukumnya khomr, penuduh zina, pembunuhan dan sebagainya.
Bagi seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur’an dengan benar, hendaknya mengetahui sebab-sebab turunnya ayat yang akan ditafsirkan supaya tidak terjadi salah penafsiran, karena ada ayat-ayat tertentu yang tidak dapat dipahami dengan benar kalau tanpa mengetahi sebab-sebab turunnya ayat tersebut, misalnya ayat ;
وَللهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَـا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ قلى إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ (البقرة 115)
Artinya :
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah, 2 : 115)[9]
Ayat tersebut akan sulit dipahami secara benar kalau tidak mengetahui sebab turunnya, bahkan orang akan beranggapan bahwa shalat itu boleh menghadap ke mana saja. Anggapan ini salah, karena menghadap kiblat merupakan syarat sahnya shalat.
Kalau kita teliti ternyata ayat tersebut menunjukkan tata cara shalat bagi orang yang melakukan perjalanan dan tidak mengetahui arah kiblat, maka sebaiknya orang tersebut menghadap sesuai dengan kemantapan hatinya. Dan jika ternyata salah maka shalat orang tersebut tetap diterima (sah) menurut syari’at Allah. Dan tidak wajib mengulangi shalatnya lagi jika sesudah itu ternyata salah.
Dengan demikian, mengetahui sebab-sebab turunnya ayat dalam Al-Qur’an sangat penting dalam rangka untuk mengetahui arah hikmah yang menunjukkan pada syari’at Islam.
Adapun latar belakang turunnya ayat 122 dalam Surat At-Taubah adalah terdapat bebera pendapat, diantaranya :
a. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim dari Ikrimah, berkata : “ketika diturunkan ayat إلاَّ تَنْفِرُوْا يُعَذِّبَكُمُ اللهُ عَذَابًا أَلِيْمًا (jika kamu semua tidak pergi (ke madan perang), maka Allah akan menyiksamu dengan siksa yang pedih”, pada waktu itu orang-orang telah meninggalkannya di pelosok dan mengajarkan kepada kaum mereka, kemudian orang-orang munafik berkata : “orang-orang telah berada di pelosok, maka hancurlah penduduk pelosok”. Lalu turunlah ayat : وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا
b. Diriwayatkan dari Abdullah bin Ubaid bin Amir, berkata : karena saking semangatnya orang-orang mukmin untuk berjihad, maka ketika diutus oleh Rasulullah saw. untuk berjihad, mereka semua keluar (pergi berjihad) dan meninggalkan Rasulullah saw. di Madinah sendirian, lalu turunlah ayat ini.[10]
c. Menurut Thanthawi Jauhari, ayat ini menerangkan sebagian hukum-hukum jihad. Hal ini karena menentang orang-orang munafik yang menjelek-jelekkannya. Rasulullah mengutus pasukan, maka semua orang berangkat untuk berperang dan tidak ada satupun orang yang tinggal bersama Rasulullah, lalu turunlah ayat ini.[11]
d. Ibnu Abbas berkata : Sesungguhnya ayat ini diturunkan dalam masalah jihad (perang), akan tetapi ketika Rasulullah mengajak kepada kabilah Muhdlor, yang selama beberapa tahun negara mereka itu dalam keadaan gersang, maka kabilah tersebut menerima seluruh ajakan Nabi. Dengan demikian mereka mau menempati Madinah karena negaranya dalam keadaan gersang. Di sana mereka mengingkari Islam dan mereka berbohong serta membuat susah para sahabat Nabi, maka Allah menurunkan ayat ini untuk memberi tahu Rasulullah saw. bahwa mereka bukan orang-orang yang beriman, akhirnya Rasulullah menolak suku mereka dan memperingatkan kepada umat Islam agar tidak melakukan apa telah dilakukan kabilah Muhdlor.[12]
e. Menurut Ar-Razi, Ibnu Abbas menukil, bahwasanya Nabi Alaihi Salam ketika keluar menuju peperangan dan tidak berselisih pendapat dalam masalah ini kecuali orang-orang munafik dan orang-orang yang punya udzur. Maka ketika sampai pada Allah cacat-cacat orang munafik pada Perang Tabuk, maka orang-orang mukmin berkata : “Demi Allah, kami tidak berselisih tentang sesuatu peperangan bersama Rasul Alaihis Salam dan juga tidak tehadap pasukan”. Maka ketika Rasulullah Alaihis Salam berangkat dahulu ke Madinah dan mengutus pasukan kepada orang-orang Kafir, berangkatlah orang-orang Muslim seluruhnya ke medan perang dan meninggalkan Rasulullah sendirian di Madinah, lalu turunlah ayat ini.[13]
3. Pemaknaan Para Mufassir terhadap Surat At-Taubah Ayat 122.
Dalam memberikan makna ayat ini, terdapat sebagian mufassir yang memiliki sudut pandang yang hampir sama dengan mufassir lain, tetapi ada juga yang berbeda, bahkan berlawanan pendapat. Demikian pula ada sebagian mufassir yang memberikan makna secara sederhana (singkat), ada yang sedang dan ada pula yang secara luas.
Di sini akan penulis kemukakan pendapat beberapa Mufassir dalam memberikan makna ayat ini, diantaranya adalah :
a. Menurut R.H.A. Soenarjo :
وَمَا كَانَ المُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَافَّة ًط فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِىالدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يُحْذَرُوْنَ ع ( التوبة : 122)
Artinya :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (At-Taubah; 122)[14]
b. Menurut Imam Al-Jalalaini :
“Tidak patut bagi orang-orang Mukmin berangkat ke medan perang semuanya, kenapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan besar itu sekelompok orang dari mereka dan sebagian dari mereka menetap untuk memperdalam ilmu agama dan memberi peringatan kepada kaumnya jika telah kembali dari perang dengan mengajarkan kepada mereka tentang hukum-hukum yang mereka ketahui, dengan demikian mereka akan takut pada siksa Allah dengan melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya".
Dalam hal ini, beliau juga mengemukakan pendapat Ibnu Abbas ; bahwasanya ayat ini bersifat khusus, adapun ayat perang sebelumnya memerintahkan seseorang agar tidak berselisih dengan Nabi, jika beliau keluar (berangkat) perang”.[15]
c. Menurut Bachtiar Surin :
“Dan orang-orang mukmin itu tidak dituntut supaya mereka pergi semuanya ke medan perang. Alangkah baiknya di antara rombongan besar yang pergi berperang itu, ada pula segolongan kecil lainnya sesuai dengan keperluan, berangkat untuk memperdalam agama, agar mereka dapat memberi pengajaran kepada kaumnya yang ikut berperang bila mereka telah kembali ke tengah-tengah lingkungannya, supaya mereka mawas diri pula di bidang ilmu dan agama”.
Beliau juga menjelaskan dalam keterangan perkataan “tidak dituntut” dengan keterangan ; boleh juga dibaca “tidak diwajibkan”. Kewajiban berperang, bukanlah dibebankan kepada masing-masing pribadi. Bila pasukan yang diperlukan sudah lengkap, maka yang lain hendaklah mengerjakan bidang lain, dalam hal ini bidang ilmu dan agama tidak kurang pentingnya dari berperang. Kewajiban berperang timbul apabila Rasulullah keluar dan mengajak yang lain untuk ikut berperan-serta.[16]
d. Menurut A.Hassan, Guru Persatuan Islam :
“Dan tidak patut orang-orang Mukmin keluar semuanya. Tetapi alangkah baiknya jika keluar sebagian (saja) dari tiap-tiap golongan dari mereka supaya mereka menerima pelajaran tentang agama, lalu mereka ancam kaum mereka apabila mereka kembali kepada mereka supaya mereka bisa berhati-hati”
Beliau memberikan penjelasan pada ayat tersebut sebagai berikut :
“Dan tidak patut orang-orang Mukmin keluar semuanya” lantaran ada celaan atas orang yang tidak turut perang, maka di waktu ada peperangan, walaupun kecil, semua kaum Mukmin pergi perang dengan tinggalkan Rasulullah di Madinah. “supaya mereka menerima pelajaran tentang agama” dengan penjelasan : yakni mereka yang tinggal itu bisa menuntut ilmu dari Nabi. “lalu mereka ancam kaum mereka apabila mereka kembali kepada mereka” dengan penjelasan : Yaitu untuk memberi peringatan kepada kaummasing-masing apabila masing-masing kembali ke desa atau ke negeri sendiri. Dan “supaya mereka bisa hati-hati” dengan penjelasan : hati-hati dalam menjalankan agama.[17]
e. Menurut Ahmad Musthofa Al-Maraghi :
Ahmad Musthofa Al-Maraghi dalam tafsirnya “Al-Maraghi” memberikan penafsiran terhadap ayat ini dengan cukup jelas. Secara garis besar dapat penulis kategorikan sebagai berikut :
1. Mengenai Jihad (perang)
Jihad (perang) hukumnya fardlu kifayah, kecuali jika Rasulullah saw. telah memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk ikut perang, atau Rasulullah sendiri ikut terjun dalam peperangan. Maka dalam hal ini hukum peperangan menjadi wajib ‘ain (harus diikuti seluruh orang Islam di daerah tersebut yang mukallaf).
Kaitannya dengan ayat ini, bahwa perang yang terjadi adalah cukup dilakukan oleh sebagian kecil orang Islam, dan Rasulullah sendiri tidak berangkat ke medan perang pada saat itu. Bahkan Rasulullah hanya tinggal di Madinah. Maka tidak sepatutnya bagi orang-orang Mukmin berangkat seluruhnya ke medan perang, karena perang yang terjadi ini cukup dihadapi oleh sebagian kecil Umat Islam.
2. Menuntut Ilmu Agama
a). Penuntut ilmu agama
Bagi orang-orang Mukmin yang tidak berangkat ke medan perang hendaknya menuntut ilmu (belajar) bersama Rasulullah dengan memahami dan memperdalam ilmu agama. Karena pada saat itu wahyu masih berlangsung turun terus kepada Rasulullah. Demikian pula hadits yang berupa perkataan dan perbuatan selalu menjelaskan wahyu tersebut yang sifatnya mesih mujmal, sehingga bisa diketahui hukum dan hikmahnya secara jelas.
b). Tujuan menuntut ilmu agama
Tujuannya bukan untuk mengejar pangkat (kedudukan), harta benda, menindas orang lain dan meniru orang dhalim, tetapi tujuan menuntut ilmu agama adalah untuk membimbing kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat dari kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui, dengan harapan supaya mereka takut kepada Allah dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan, di samping agar seluruh kaum Mukminin mengetahui agama mereka, mampu menyebarkan dakwahnya dan membelanya serta menerangkan rahasia-rahasianya kepada seluruh umat manusia.
c). Hukum menuntut ilmu agama dan mengajarkannya
Dari ayat tersebut terdapat ibrah (pelajaran) tentang wajibnya pendalaman ilmu agama dan kesediaan mengajarkannya di tempat-tempat pemukiman serta memahamkan orang lain tentang agama sebanyak yang dapat memperbaiki keadaan mereka, sehingga mengetahui hukum-hukum agama secara umum yang wajib diketahui oleh setiap mukmin.
d). Keutamaan penuntut ilmu
Orang-orang yang menuntut ilmu agama, termasuk orang-orang yang beruntung dan memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan tak kalah tingginya dengan kalangan pejuang yang mengorbankan harta dan jiwanya dalam meninggikan kalimah Allah, membela agama dan ajarannya. Bahkan penuntut ilmu agama itu boleh jadi lebih utama dari pada pejuang pada selain situasi ketika mempertahankan agama menjadi wajib ‘ain bagi setiap orang.[18]
f. Menurut Tafsir Departemen Agama :
Pertama-tama tafsir ini membandingkan antara ayat 122 dengan ayat-ayat yang lalu. Kalau pada ayat-ayat yang lalu, Allah telah menjelaskan tentang hukum-hukum berperang yang merupakan suatu cara dan alat dalam berjihad Fi Sabilillah. Yang mana dalam berjihad ini diperlukan pengorbanan harta benda dan jiwa raga, yang dicatat di sisi Allah sebagai amal shaleh yang berhak untuk dibalas dengan pahala yang sangat besar.
Kemudian Allah menjelaskan dalam ayat ini tentang kewajiban menuntut ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu-ilmu agama Islam yang juga sama-sama merupakan salah satu cara dan alat dalam berjihad. Menuntut ilmu, serta mendalami ilmu pengetahuan agama juga merupakan suatu perjuangan yang meminta kesabaran dan pengorbanan tenaga serta harta benda.
Peperangan bertujuan untuk mengalahkan musuh-musuh Islam, serta untuk mengamankan jalannya da’wah Islamiyah. Sedangkan menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama bertujuan untuk mencerdaskan Umat dan mengembangkan agama Islam, agar dapat disebarluaskan dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dengan demikian, jelaslah bahwa ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan ayat-ayat yang lalu, karena sama-sama menerangkan hukum berjihad, akan tetapi dalam bidang dan cara yang berlainan.
Dalam ayat ini Allah SWT menerangkan, bahwa tidak perlu semua orang Mukmin itu berangkat semua ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi bertekun menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam, supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan da’wah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat serta kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.[19]
g. Menurut Ar-Razi :
Ayat ini mungkin menetapkan hukum-hukum jihad dan mungkin tidak ada kaitannya dengan jihad. Secara ringkas penafsiran beliau dapat penulis kelompokkan sebagai berikut :
1). Bahwa tidak diperbolehkan bagi orang-orang mukmin pergi perang semuanya, tatapi wajib dibagi dua kelompok, yaitu satu kelompok pergi jihad (perang), karena saat itu orang Islam butuh perang untuk kekerasan pada orang kafir. Dan satu kelompok menetap bersama Rasul, karena pada saat itu wahyu masih juga turun yang membawa syariat baru dan merupakan kewajiban bagi orang mukmin untuk melakukannya. Dengan dibagi menjadi dua kelompok ini akan menyempurnakan urusan agama, karena orang yang pergi perang menjadi gantinya bagi orang yang menetap bersama Rasul. Dan begitu pula orang yang menetap dan belajar bersama Rasulullah merupakan ganti dari orang-orang yang pergi perang. Dengan demikian orang-orang yang memperdalam agama bersama Rasul supaya memberi peringatan (nasehat) kepada golongan yang pergi perang setelah mereka kembali dari perang dan supaya mereka itu dapat memelihara diri dari maksiat kepada Allah.
2). Al-Hasan dalam Tafsir Ar-Razi, memberikan penjelasan pada kata “At-Tafaqquh” itu merupakan sifat bagi orang-orang (kelompok) yang pergi perang. Maka yang dimaksud memperdalam ilmu agama itu adalah bagi orang-orang yang pergi perang, sehingga mereka itu menjadi Ahli Fiqih dalam agama. Adapun maksudnya memperdalam di situ adalah dengan menyaksikan kemenangan orang-orang muslim atas orang-orang musyrik, sedangkan pasukan muslim lebih sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan jumlah pasukan musyrikin. Dengan peristiwa itu maka bagi orang yang bisa mengambil pelajaran, mereka akan mengetahui bahwa sebab-sebabnya dalah dengan pertolongan dan kekuatan Allah SWT. yang menghendaki untuk mengangkat agama Muhammad saw. dan menguatkan syari’atnya. Maka setelah mereka selesai dari perang dan kembali pada kaumnya yang kafir, dapat memberi peringatan dengan apa yang telah mereka saksikan dari bukti-bukti pertolongan dan kemenangan, supaya mereka itu memelihara dirinya dan meninggalkan kekufuran, keraguan dan kemunafikan.
3). Ayat ini tidak menetapkan hukumnya jihad, tetapi menerangkan hukum yang berdiri sendiri. Ketika Allah menerangkan pada ayat ini, perintah untuk berhijrah kemudian berjihad, yang keduanya merupakan ibadah dengan cara bepergian, maka menerangkan pula ibadah “At-Tafaqquh” dari Rasul yang berhubungan dengan bepergian. Dengan demikian berarti tidak patut bagi orang-orang mukmin berangkat semuanya kepada Rasul untuk memperdalam ilmu agama karena hal itu bukan wajib dan bukan pula jaiz.[20]
h. Menurut Al-Qurthubi :
Al-Qurthubi memberikan penjelasan terhadap ayat ini, bahwasannya jihad itu bukan fardlu ‘ain tetapi fardlu kifayah. Karena seandainya pergi semuanya dikhawatirkan orang-orang yang sesudah mereka itu menyimpang dari kebenaran, maka sebaiknya satu golongan keluar untuk jihad (perang) dan satu golongan lagi menetap untuk memperdalam ilmu agama dan memelihara hal yang haram. Dengan demikian, jika orang-orang yang pergi perang itu telah kembali, maka orang yang menetap dan memperdalam ilmu agama itu mengajarnya dengan apa yang telah mereka ketahui dari hukum-hukum syara’ dan wahyu yang baru turun kepada Nabi Muhammad SAW.
Sebenarnya ayat ini adalah menunjukkan wajibnya mencari ilmu, karena dalam ayat ini disebutkan “Tidak patut bagi orang mukmin itu pergi semuanya sedangkan Nabi sendiri menetap dan tinggal sendirian”. Allah mencela mereka yang perang semuanya, kenapa mereka tidak menetap sebagian bersama Nabi untuk memelihara dan memperdalam ilmu agama. Dan setelah orang-orang yang berangkat perang itu telah kembali, maka orang-orang yang memperdalam ilmu agama bersama Nabi itu dapat memberi kabar dari apa yang pernah didengarnya dan apa yang telah diketahuinya. Ayat ini juga menunjukkan kewajiban memperdalam Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah (Hadits), dan sesungguhnya memperdalam ilmu agama serta Al-Qur’an dan Hadits adalah fardlu kifayah (bukan fardlu ‘ain). Al-Qurthubi mendasarkan pada firman Allah :
فَاسْئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُم لاَ تَعْلَمُوْنَ
Menurutnya juga, bahwa hukum mencari ilmu itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1). Fardlu ‘ain, seperti mencari ilmu tentang sholat, zakat dan puasa. Al-Qurtubi beralasan dengan hadits Nabi
إِنَّ طَلَبَ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ
Artinya :
“Sesungguhnya mencari ilmu itu wajib”
Beliau juga beralasan dengan hadits yang diriwayatkan dari Abdul Qudus bin Habib yaitu Abu Said Al-Wuhadliyyi dari Hammad bin Sulaiman dari Ibrahim An-Nakhoi :
قاَلَ سمعتُ اَنَسَ بْنِ ماَلِكٍ يَقُوْلُ : سمَعِْتُ رَسُـوْلَ الله صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُـوْلُ : طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ . قاَلَ إِبْراَهِيْمُ : لَمْ اَسْمَعُ مِنْ اَنَسِ بْنِ ماَلِكٍ اِلاَّهذاَ اْلحَدِيْثَ
Artinya :
Ibrahim An-Nakhoi berkata ; Saya mendengar Anas bin Malik berkata ; Saya mendengar Rasulullah bersabda “Mencarai ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. Ibrohim berkata “Saya tidak mendengar dari Anas bin Malik kecuali hadits ini”.
2). Fardlu Kifayah, seperti berhasilnya hak-hak dan tegaknya hukum-hukum dan menjelaskan bantahan dan contoh-contoh. Karena tidak patut bagi semua manusia belajar semuanya, karena menjadi sia-sia keadaan mereka itu dan begitu pula keadaan tentara mereka. Maka menjadi jelas diantara dua keadaan jika sebagian melakukannya (bukan fardlu ‘ain). Yang demikian itu disebabkan karena kemudahan Allah terhadap hambanya dan karena Allah telah membagi diantara mereka dari rahmat-Nya dan hikmah-Nya.
Bahwasannya mencari ilmu itu merupakan keutamaan yang besar dan memiliki kedudukan yang mulia, dan tidak kalah suatu amal yang disertai ilmu dengan amal tanpa ilmu.
At-Turmudzi telah meriwayatkan dari Hadits Abi Darda’, bahwasannya Abi Darda’ mendengar rasulullah bersabda :
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يْلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْم ِ وَإنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَفْفِرَ لَهُ مَنْ فِى السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فىِ الأَرْضِ وَالخِيْتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإنَّ فَضْلَ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ عَلَى سَا ئِرِ الكَوَاكِبِ وَإنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَ نْبِيَاءِ لَمْ يُوَرِّثُوْل دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إنَّمَا وَرِثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أخَذَ بِهِ أخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Artinya :
Barang siapa yang berjalan pada suatu jalan untuk mencari limu, maka Allah memberinya jalan menuju syurga.dansesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya pada orang yang mencari ilmu dengan sebab rela padanya. Dan sesungguhnya telah memintakan ampun pada seseorang yang ‘alim itu segala apa yang ada di langit dan di bumi sehingga aikan-ikan yang ada di dasar air. Sesungguhnya perbandingan antara orang yang Alim dengan orang Ahli Ibadah (bukan ahli Ilmu), itu sebagaimana keutamaan bulan pada malam bulan purnama atas semua bintang. Dan sesungguhnya ulama’ itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, tetapi mereka itu mewariskan ilm. Maka barang siapa yang telah memiliki ilmu berarti ia telah mengambil bagian yang sempurna.
Ad-Darimy Abu Muhammad dalam kitab musnadnya juga meriwayatkan, bahwasannya Al_Auza’I menceritakan dari Al-Hasan, berkata :
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهَ صلى الله عليه وسلم عَنْ رَجُلَيْنِ كَانَ فِى بَنِى إِسْرَائِيْلَ أَحَدُهُمَا كَانَ عَالِمًا يُصَلِّى الْمَكْتُوْبَةَ ثُمَّ يَجْلِسُ فَيُعَلِّمَ النَّاسَ الْخَيْرَ, وَالأَخَرُ يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ اللَّيْلَ أَيُّهُمَا أَفْضَلُ ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهَ صلى الله عليه وسلم : فَضْلُ هَذَاالْعَالِمِ الَّذِيْ يُصَلِّي الْمَكْتُبَةَ ثُمَّ يَجْلِسُ فَيُعَلِّمُ النَّاسَ الخَيْرَ عَلَى الْعَابِدِ الَّذِى يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ اللَّيْلَ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ
Artinya :
“Rasulullah saw. pernah ditanya tentang dua orang dari Bani Isra’il, yang satu (‘alim) sedang shalat fardlu kemudian duduk dan mengajar kebaikan kepada manusia, dan yang satunya sedang berpuasa di waktu siang dan bangun di waktu malam (untuk beribadah), manakah yang lebih utama diantara keduanya ? Rasulullah saw. bersabda : Keutamaan orang yang ‘alim (berilmu) yang sedang shalat fardlu kemudian duduk mengajar kebaikan kepada manusia atas ‘abid (ahli ibadah) yang sedang berpuasa di waktu siang dan bangun di waktu malam (untuk beribadah) adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara kamu”.
Abu Umar menerangkan dalam kitab bayanul ilmi dari Abi sa’id Al-Khudzriy berkata, bersabda Rasulullah saw.:
فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أُمَّتِى
Artinya :
“Keutamaan orang yang ‘alim (berilmu) atas ‘abid (ahli ibadah), itu seperti keutamaanku atas umatku”
Ibnu Abbas berkata :
أَفْضَلُ الْجِهَادِ مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يُعَلِّمُ فِيْهِ القُرْأَنَ وَالْفِقْهَ وَالسُّنَّهَ
Artinya :
“Jihad yang paling utama adalah jihadnya orang yang membangun masjid kemudian digunakan untuk mengajarkan Al-Qur’an, fiqih dan sunnah” [21]
i. Menurut Mahmud Yunus :
Mahmud Yunus memberikan penjelasan pada ayat ini dengan memberikan kesimpulan, bahwa sebagian dari tiap-tiap golongan (penduduk kampung atau negeri) hendaklah takhassus menuntut ilmu agama.kemudian memberi pengajaran kepada kaumnya.
Sebab itu hendaklah sebagian pelajar pergi ke luar negeri untuk mempelajari ilmu-ilmu agama yang dituntut agama mempelajarinya seperti bermacam-macam kepandaian yang perlu buat menempuh gelombang hidup masa sekarang. Setelah mereka pandai dan kembali ke tanah airnya, hendaklah mereka memberi pelajaran kepada bangsanya, moga-moga mereka menerima pelajaran itu.[22]
j. Menurut Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi :
Asy-Syaikh Muhammad Nawawi memberikan dua penjelesan, yaitu :
Pertama : orang-orang mukmin sebaiknya tidak pergi semua ke hadapan Nabi untuk mempelajari agama, karena itu tidak wajib dan tidak jawaz. Pendalaman agama bukanlah seperti perang bersama Rasulullah yang wajib diikuti oleh setiap orang Islam yang tidak tertimpa udzur. Sebaiknya sekelompok dari penduduk yang tinggal di desa itu pergi ke hadapan Rasulullah untuk mendalami agama dan setelah pulang ke desa, mereka menyeru kepada kaumnya agar mereka takut siksaan Allah dengan menjalankan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya. Dengan ketetapan ini, maka yang dimaksudkan adalah kewajiban keluar ke hadapan Rasul untuk belajar karena setiap saat akan terjadi tuntutan baru (dalam hal syari’at). Adapun pada masa sekarang syari’at telah menjadi tetap. Jika untuk mendapatkan ilmu cukup di dalam desa/negeri, maka tidak wajib untuk pergi ke luar desa/negeri.
Penjelasan kedua : Tidak boleh bagi orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang) dengan meninggalkan Nabi, tetapi sebaiknya mereka dibagi dua kelompok, yang satu kelompok pergi perang untuk menaklukkan orang-orang kafir dan yang satu kelompok bersama Rasulullah untuk mempelajari ilmu dan mendalami agama karena hukum-hukum syari’at itu selalu terjadi baru/tiba. Dan orang-orang yang bersama Rasulullah menghafal hukum-hukum yang baru datang kemudian mengajarkan kepada orang-orang yang datang dari perang. Dengan demikian akan menjadi sempurna urusan agama.[23]
k. Menurut Sa’id Hawwa :
Sa’id Hawwa dalam Kitab Al-Asasu Fit Tafsir, memberikan penjelasan tentang ayat ini sebagai berikut :
Sebaiknya sebagian (dari kaum yang) keluar (ke medan perang) dan sebagian duduk (berada di rumah) mencari kebaikan dengan mendalami agama, mendengarkan wahyu yang diturunkan, dan menyeru kepada orang-orang (yang berperang) ketika mereka kembali.[24]
l. Menurut Thanthawi Jauhari :
Asy-Syaikh Thanthawi Jauhari memberi penafsiran ayat ini sebagai berikut :
Sebaiknya orang-orang mukmin tidak harus selalu pergi semua untuk berperang atau mencari ilmu, demikian pula tidak harus di rumah (berdiam diri) semua, karena itu membuat cacat urusan kehidupan. Sebaiknya supaya ada pembagian tugas di antara mereka, sebagian dari tiap-tiap kelompok supaya ada yang mendalami agama karena mereka dituntut untuk mengambil bagian dalam menghasilkan fiqih (pemahaman tentang agama) dengan tujuan setelah menghasilkan fiqih (pemahaman tentang agama) lalu mengajarkan kepada kaumnya dan menyebar luaskan agar mereka takut terhadap apa yang mereka telah ditakut-takuti. Di sini secara khusus menyebutkan lafadh “Al-Fiqh” karena ia adalah yang terpenting. [25]
4. Hubungan antara surat At-Taubah ayat 122 dengan ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai dasar utama untuk mengatur kehidupan umat untuk mengatur kehidupan dunia dan mencapai kebahagiaan di akhirat. Pendidikan merupakan cara yang sangat tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, Al-Qur’an banyak sekali mebicarakan masalah pendidikan.
Surat At-taubah ayat 122 adalah bagian dari Al-Qur’an yang membicarakan tentang perintah untuk menuntut ilmu, kemudian mengajarkannya kepada umat, agar bisa memelihara dirinya dari hal-hal yang haram.
Sebenarnya banyak sekali ayat Al-Qur’an yang menyinggung masalah pendidikan yang ada kaitannya dengan ayat 122 surat At-Taubah, namun di sini penulis akan menyebutkan beberapa ayat saja.
Adapun ayat-ayat yang berkaitan tersebut diantaranya adalah :
a. Surat Al-Alaq ayat 1 – 5 :
إِقْرأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ. خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. إِقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ. الَّذِيْ عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (العلق, 1-5)
Artinya :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu lah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam(artinya Allah mengajar manusia dengan perantara tulis baca). Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Al-Alaq : 1 – 5) [26]
Kalau kita amati ayat-ayat tersebut di atas, ternyata ada perintah kepada kita untuk membaca. Dan Allah telah mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya dengan perantara qalam (baca tulis). Dengan ini mengisyaratkan kepada kita bahwasanya untuk mempelajari sesuatu itu perlu untuk belajar membaca dan menulis terlebih dahulu. Demikian juga dalam mempelajari ilmu agama perlu untuk belajar membaca dan menulis terlebih dahulu, karena membaca dan menulis merupakan modal dasar yang perlu sekali untuk dimiliki oleh setiap orang yang meu belajar.
b. Surat Thoha ayat 114 :
فَتَعَالَى اللهُ الْمَلِكُ الْحقُّ وَلاَ تَعْجَلْ بِالْقُرْأَنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِى عِلْمًا
Artinya :
“maka Maha Tinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa mewahyukan kepadamu, dan katakanlah : “Ya Tuhanku tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”[27]
Dari ayat di atas, menunjukkan tentang cara seseorang mempelajari ilmu pengetahuan (termasuk ilmu agama), yaitu dengan cara sabar (tidak tergesa-gesa) tetapi harus mengutamakan pemahaman terhadap materi seorang peserta didik diharapkan untuk berusaha secara bathin, yaitu dengan cara berdo’a kepada Allah agar ditambah ilmunya.
c. Surat Al-Maidah ayat 67 :
يَا أَيُّهَا الرَّسٌوْلُ بَلِّغْ مَا أُنْرِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ, وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ...
Artinya :
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatnya…” [28]
Pada ayat 67 Surat Al-Maidah ini memerintahkan untuk menyampaikan (mengajarkan) ilmu yang telah dimiliki seseorang (termasuk ilmu agama). Dan jika seseorang yang telah memiliki ilmu, tetapi tidak mau mengajarkan kepada orang lain, maka berarti orang tersebut tidak menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, karena ilmu adalah amanat Allah. Maka ilmu harus disampaikan kepada yang membutuhkan. Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 58 :
إِنَّ اللهَ يَأْ مُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا ...(النساء 58)
Artinya :
“Sesunggunhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya …”[29]
d. Surat An-Nahl ayat 43 :
... فَسئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Artinya :
“… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”[30]
Ayat di atas memerintahkan untuk bertanya tentang ilmu pengetahuan bagi orang yang tidak mengetahuinya, terutama pengetahuan tentang ilmu-ilmu agama, tentang nabi-nabi dan tentang kitab-kitab Allah. Perintah bertanya tentang ilmu di sini berarti perintah untuk mendalami ilmu pengetahuan terutama pengetahuan tentang agama dalam bentuk pendalaman agama (tafaqquh fiddin).
e. Surat An-Nahl ayat 125 :
أٌدْعُ إِلىَ سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِطَةِ الحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ ...
Artinya :
“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…”[31]
Ayat ini menunjukkan tentang cara/metode pendidikan yang baik, yaitu dengan menggunakan kebijaksanaan yang baik (hikmah), nasihat yang baik (mauidlah hasanah) dan bantahan yang baik. Mendidik memang sulit,oleh karena itu pendidik harus mengetahui tentang metode pendidikan yang pas dengan keadaan yang didik,pas sesuai dengan tingkatan umur, kemampuan dan materi, serta waktu yang tersedia untuk menyampaikan materi tersebut.
f. Surat Az-Zumar ayat 9 :
... قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ, إِنََّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواالأَلْبَابِ (الزمر 9)
Artinya :
“… Katakanlah : Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ? Sesungguhnya orang yang berakal lah yang dapat menerima pelajaran” [32]
Ayat ini membandingkan antara orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang yang tidak mengetahui (tidak berilmu). Maka jelaslah orang-orang yang berilmu itu lebih memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang tidak berilmu. Dan cara yang paling tepat untuk memperoleh ilmu pengetahuan itu adalah melalui pendidikan (belajar). Karena melalui pendidikan itu ilmu akan dapat ditrasnfer dan melalui pendidikan pula ilmu akan berkembang, baik itu ilmu-ilmu umum maupun ilmu-ilmu agama.
g. Surat Al-Mujadilah ayat 11 :
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ حَبِيْرٌ
Artinya :
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantarmu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan”[33]
Berdasarkan ayat 11 Surat Al-Mujadilah di atas, Allah telah menjamin kepada orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan dengan akan diangkatnya derajat mereka dari orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan. Oleh karena itu ayat ini juga merupakan jawaban dari pertanyaan yang terdapat pada Surat Az-Zumar ayat 9 di atas.
Demikianlah kaitan ayat 122 dari Surat At-Taubah dengan ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an, yang berkaitan dengan pendidikan atau Tafaqquh Fiddiin.
B. Tafaqquh Fiddin dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah Ayat 122
1. Pengertian Tafaqquh Fiddiin
Tafaqquh Fiddiin menurut bahasa diambil dari kata Tafaqquh dan Fiddiin. Kata Tafaqquh dari kata “Faqaha” artinya “Ghalabahu Fil Ilmi” (mengalahkan dalam ilminya) dan dari “Faqiha” dan “Faquha” artinya “Alima” dan “Fahima” Isim masdarnya “Fiqh”. Tafaqqaha artinya “ta’allama al-fiqha wa ta’athahu” (mempelajari fiqh dan menjalankannya) dan “tafaqqaha asy-syai’a” (memahami sesuatu). Al-fiqh artinya mengetahui sesuatu dan memahaminya.[34] Kemudian diikutkan wazan “Tafa’’ala” menjadi “Tafaqqaha” yang mempunyai faidah “Lish-shoiruroh”,[35] yaitu menjadikan suatu keadaan pada keadaan lain[36] artinya “menjadi faham, menjadi tahu” atau “mendalami”. Sedangkan fiqih menurut bahasa berati “pemahaman, pengertian atau pengetahuan” [37]
Di dalam Al-Qur’an surat Huud ayat 91 disebutkan :
قَالُوْا ياَ شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِمَّا تَقُوْلُوَإِنَّا لَنَرَاكَ فِيْنَا ضَعِيْفًا
Artinya :
Mereka berkata : “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah diantara kami” (Huud, 91)
Dan juga disebutkan dalam surat Al-An’am ayat 65 :
اُنْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الأَيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُوْنَ ( الأنعام, 65)
Artinya :
“Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahaminya” (Al-An’am, 65).
Secara bahasa, Fiqih sendiri berarti paham dalam arti pengertian atau pemahaman yang mendalam yang menghendaki pengerahan potensi akal.[38]
Sedangkan Fiqih menurut istilah ahli fiqih adalah :
الفقهُ هُوَ اْلعِلْمُ باِلاَحْكاَمِ الشَّرْعِيَّـةِ العَمَلِيَّةِ المُكْتَسَبِ مِنْ اَدِلَّتـِهاَ التَّفْصِيْلِيَّهِ
Artinya :
Fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang amaliyah (praktis) yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafshiliyah (terperinci)[39]
Menurut Al-Jurzaniy sebagimana ditulis oleh HA. Djazuli dan Nurol Aen, memberikan definisi lain sehubungan dengan pengertian fiqih, yaitu : “sebagai suatu ilmu yang diperoleh dengan menggunakan pemikiran (ijtihad)”[40]
Menurut Hujjatul Islam Al-Ghazali, sebagaimana dikatakan oleh Al-Alusi dan telah dikutib oleh Sa’id Hawwa sebagai penafsiran ayat ini, bahwa nama “fiqih” pada pertama kali adalah nama bagi ilmu pengetahuan ke akhirat dan mengenal penyakit jiwa yang halus-halus dan yang merusakkan amal, teguh pendirian dengan pandangan hina kepada dunia, sangat menuju perhatian kepada nikmat akhirat dan menekankan ketakutan kepada hati. Ayat ini menunjukkan bahwa yang di maksud dengan “al-indzar” (menakuti akan ancaman) dan “at-takhwif” (menakuti akan meninggalkan perintah) itu adalah “al-fiqh”. Dikatakan oleh Al-Hasan bahwa sesungguhnya “al-faqih” adalah orang yang zuhud di akhirat (hanya mengurusi urusan akhirat), yang mengetahui (menguasai tentang) agamanya, konsisten dalam menyembah Tuhannya, menjaga sepenuhnya kehormatan orang-orang Islam, menjaga harta mereka, menasehati kelompok (jama’ah)nya, dan tidak sedikit hafal cabang-cabang fatwa tentang itu semua.[41]
Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan fiqih ialah pengertian-pengertian keimanan, bukan mengeluarkan fatwa. Demi umurku, bahwa kata-kata “al-fiqh” dan “al-famh” menurut bahasa adalah dua nama (ism) dengan satu arti. Dan dipergunakan demikian, menurut kebiasaan pemakaian, baik dahulu atau sekarang.[42]
Menurut Sumanto Al-Qurtubi, kata fiqih pada mulanya digunakan oleh masyarakat Arab untuk menyebut orang yang ahli dalam mengawinkan unta, yang mampu membedakan unta betina yang sedang birahi dari unta betina yang sedang bunting. Itulah sebabnya, Bangsa Arab sangat akrab dengan ungkapan fahlun faqihun sebagai julukan bagi pakar unta. Untuk dapat mengawinkan unta dan membedakannya antara yang birahi dengan yang bunting dibutuhkan pengetahuan yang mendalam guna menghidari kemungkinan terjadinya kekeliruan.
Sedangkan menurut KH. Irfan Hielmy, fiqih yang dimaksud dalam Islam (Al-Qur’an) ialah pemahaman seseorang yang mendalam tentang hakikat sesuatu, sehingga dia menjadi alim yang amil (yang berilmu dan melaksanakan ilmunya), hakim (mengerti hikmah) dan pintar serta tajam penalarannya. Kedudukan fiqih dalam Islam yang tercantum dalam Al-Qur’an di sini bukan fiqih menurut istilah sesuatu disiplin ilmu.[43]
Dari uraian ini dapat dapat dikembangkan tentang fiqih secara umum, yaitu “pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu”. Namun begitu, dalam sejarah perkembangan Islam, tampaknya kata fiqih lebih banyak dipergunakan dalam pengertian memahami agama dari pada lainnya. Al-Qur’an sendiri kelihatannya mempergunakan kata fiqih dalam konteks pemahaman terhadap masalah-masalah agama. Lihat misalnya Firman Allah “Liyatafaqahu fi al-diin” (QS 9 : 122) dan sabda Nabi “Allahumma faqqihhu fid al-diin” menunjukkan bahwa istilah fiqih tidak dimaksudkan untuk pengertian memahami agama dari aspek hukum semata, melainkan untuk memahami agama (secara mendalam) dengan pelbagai aspeknya.[44]
Sedangkan “Ad-Diin” menurut bahasa adalah “At-Tho’atu” (ketaatan) lawannya “Al-Ma’shiyatu” (kedurhakaan), nama bagi segala sesuatu yang digunakan untuk menyembah Allah.[45] Dalam Bahasa Indonesia Ad-diin artinya agama.
Kata agama di Indonesia, pada umumnya dipahami sebagai kata yang berasal dari bahasa Sansekerta. Akan tetapi, makna agama masih simpang siur dan terus menerus menjadi bahan perdebatan. Menurut Haji Zaenal Arifin Abbas, sebagaimana dikutip oleh Juhaya S. Praja, mengatakan bahwa agama berasal dari “a” dan “gama” yang berarti “tidak kacau”. Agama berdasarkan pengertian tersebut adalah berdasarkan fungsinya sebagai way of life yang membuat hidup manusia tidak kacau.
Agama inilah dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah Al-diin atau din al-haq seperti yang dijumpai dalam Al-Qur’an Surat Al-Shaf ; 9, Surat Al-Fath ; 28 dan Surat Al-Maidah ; 3. Diin dalam ayat-ayat tersebut berlaku bagi agama Islam yang meliputi aspek Islam, Iman dan Ihsan. Diin juga dapat diartikan sebagai “lembaga ilahi” (wadh’ Ilahiy) yang memimpin manusia untuk keselamatan di dunia dan di akhirat.[46]
Menurut KH. Sahal Mahfudh, Tafaqquh Fiddiin dapat dipahami dari dua arah, pertama dipahami secara sempit, yaitu pendalaman ilmu-ilmu agama saja. Dan yang kedua dipahami secara luas, yaitu pendalaman ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu yang mendorong untuk pencapaian kebaikan di dunia dan di akhirat.
Menurut Terjemahan Tafsir Departemen Agama, pengertian Tafaqquh Fiddiin yang tersurat dalam ayat 122 dari surat At-Taubah adalah : kewajiban menuntut ilmu pengetahuan yang ditekankan dalam bidang ilmu agama. Akan tetapi agama adalah sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dari segi kehidupan manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat mencerdaskan umat serta mensejahterakan kehidupan mereka dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama wajib dipelajari.[47]
Menurut Ibnu Katsir, Tafaqquh Fiddiin adalah mempelajari apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya, mendengarkan apa yang terjadi pada manusia dan apa yang diturunkan oleh Allah kepada mereka.[48]
Menurut Husni Rahim, Islam bukan hanya semata-mata agama dalam pengertian terbatas, tetapi juga mencakup berbagai aspek kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam menolak pemisahan antara agama dan aspek-aspek kehidupan lainnya.[49] Dengan demikian, taffaquh fiddiin berarti mendalami agama dan aspek-apsek kehidupan lainnya.
2. Tujuan Tafaqquh Fiddiin
Dari uraian pemaknaan para mufassir mengenai Surat At-Taubah ayat 122, dapat penulis rumuskan tujuan Tafaqquh Fiddiin sebagai berikut :
a. Untuk mencerdaskan umat dan mengembangkan agama Islam, agar disebarluaskan dan dipahami oleh segala lapisan masyarakat.
b. Untuk menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dapat melaksanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya.
c. Untuk membimbing kaum, mengajari dan memberi peringatan tentang akibat dari kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang telah diketahui dengan harapan agar mereka takut kepada Allah dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan.
d. Agar seluruh kaum mu’minin mengetahui agama mereka dan mampu menyebarkan dakwah dan membelanya.
Menurut Al-Kazruniy, tujuan utama dari Tafaqquh Fiddiin adalah menyelamatkan diri dari siksa, sampai pada Darul Qarar (akhirat) di sisi Tuhan Sang Penguasa (dengan kebahagiaan tentunya). Adapun mengajarkan kepada orang lain itu dianjurkan, namun tidak menjadi tujuan utama. Yang dimaksud dengan tujuan utama adalah bukan yang dicapai di dunia, namun yang dicapai di akhirat. Dan tujuan akhir dari pada pelaksanaan Tafaqquh Fiddiin bukanlah mengajarkan kepada orang lain, tetapi untuk kesempurnaan jiwa, kemudian baru mengajarkan kepada orang lain.[50]
Sedangkan menurut Al-Baidlawi dalam tafsirnya, Anwarut Tanzil Wa Asrarut Ta’wil, tujuan utama dari tafaqquh fiddiin adalah mengajarkan kepada kaum dan menakut-nakuti mereka (agar beriman) dan mengkhususkan dengan mengingatkan karena itu adalah yang terpenting. Karena itu, sebaiknya tujuan orang yang mempelajari tafaqquh fiddiin adalah untuk konsisten (melakukan) dan mengamalkan, tidak untuk menjauh dari manusia dan menjelajahi negeri.[51]
3. Fungsi Tafaqquh Fiddiin
Fungsi tafaqquh fidddin sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Departemen Agama adalah untuk mencerdaskan umat, maka tidak dibenarkan bila ada orang Islam yang menuntut ilmu untuk mengejar pangkat dan kedudukan atau keuntungan pribadi saja, apa lagi menggunakan ilmu pengetahuannya sebagai kebanggaan dan peninggian diri terhadap golongan yang belum berilmu.[52]
Al-Bukhari menceritakan dari Sa’id bin Afir berkata Ibnu Wahb dari Yunus dari Abi Syihab berkata, Hamid bin Abdur Rahman berkata : Saya telah mendengar ketika berpidato berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah berkata :
مَنْ يُرِدِاللهُ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْن وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللهُ يُعْطِى وَلَنْ يَزَالَ هَذِهِ الأُمَّةُ قَائِمَةٌ عَلَى أَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللهِ
Artinya :
Barang siapa yang dikehendaki Allah akan memperoleh kebaikan, niscaya dianugerahi-Nya pemahaman dalam agama, Sesungguhnya saya adalah yang membagi dan Allah memberi, Umat ini akan senantiasa kokoh pada perintah Allah, yang tidak akan mendapat ancaman/bahaya dari orang-orang yang mengantikannya sampai datang perintah Allah (hari kiamat)[53]
Dari hadits di atas dapat disimpulkan, bahwa fungsi tafaqquh fiddiin adalah untuk memperkokoh ajaran Allah dan mempertahankannya. Selama tafaqquh fiddiin masih dilaksanakan oleh umat Islam, maka ajaran-ajaran Islam akan tetap berdiri tegak.
Ar-Razi menjelaskan, bahwa Tafaqquh Fiidin berfungsi untuk meninggikan agama Islam dan menguatkan syari’atnya. Hal ini karena kelompok orang Islam yang ahli dalam tafaqquh fiddiin meskipun jumlah mereka sedikit akan dapat mengalahkan kelompok besar dari orang-orang kafir dan orang-orang musyrik. Dan pada waktu itulah menjadi sebab Allah menurunkan kemenangan bagi orang-orang Islam untuk meninggikan agama Muhammad alaihis salam dan menguatkan syari’atnya. Ketika mereka kembali kepada kaumnya yang kafir lalu menakut-nakutinya dengan bukti-bukti kemenagnan agar mereka masuk Islam dan meninggalkan kekufuran dan kemunafikan.[54]
Dari keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tafaqquh fiddiin berfungsi untuk meninggikan agama Islam dan menegakkan syari’atnya melalui jalur penguasaan strategi perang dan pendalaman agama. Dan untuk di masa sekarang adalah dengan penguasaan teknologi dan strategi-strategi dakwah yang lain yang ada kaitannya dengan penyebaran agama Islam.
Selain itu tafaqquh fiddiin berfungsi untuk mengetahui tentang halal dan haram kemudian diajarkan kepada masyarakat Islam.[55]
Menurut Al-Baidlawi, fungsi Tafaqquh Fiddiin adalah untuk mengeksiskan Tafaqquh Fiddiin (pendalaman agama) itu sendiri, sebagai jihad akbar (perang yang terbesar) agar tidak terputus, karena al-jidal (berbicara untuk berdakwah) dengan menggunakan hujjah itu adalah yang pokok dan tujuan dari risalah Nabi.[56]
4. Ruang lingkup Tafaqquh Fiddiin
Ruang lingkup Tafaqquh Fidddin menurut Asy-Syaikh Thanthawi Jauhari pada tafsir Surat At-Taubah ayat 122 ini, yang menjelaskan tentang kewajiban menuntut ilmu dan mendalami agama. Dan pekerjaan terpenting setelah jihad adalah menuntut ilmu. Mempelajari dan memahami semua ilmu hukumnya adalah fardlu kifayah, baik itu ilmu fiqih, hadits, tafsir, teknik, kedokteran, ilmu pertambangan, ilmu jiwa, ilmu politik, ilmu untuk membuat alat-alat perang, ilmu membuat kapal, ilmu tentang listrik dan ilmu keperwiraan. Masing-masing ilmu tersebut merupakan urusan penting bagi umat. Dari ayat ini jelas, bahwa setelah orang Islam melakukan jihad maka kewajiban mereka adalah untuk mengetahui urusan agamanya (mendalami agamanya).[57]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ruang lingkup tafaqquh fiddin adalah :
a. Ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hukum-hukum Islam dan pelaksaannya, yaitu ilmu yang berkaitan dengan hukum itu sendiri, maupun tata cara pelaksanannya. Dalam hal ini hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT melalui wahyu, hadits Nabi dan ilmu fiqih.
b. Ilmu-ilmu yang digunakan untuk menegakkan agama Islam seperti ilmu teknik, kedokteran, ilmu pertambangan, ilmu jiwa, ilmu politik, ilmu untuk membuat alat-alat perang, ilmu tentang strategi perang, ilmu tentang strategi dakwah, ilmu membuat kapal, ilmu tentang listrik dan ilmu keperwiraan dan lain sebagainya serbagai pendukung dawah Islam.
Menurut Ibrahim bin Ismail, ilmu yang sebaiknya dipelajari adalah semua ilmu yang dapat memperbaiki kehidupan dan ilmu yang dibutuhkan untuk urusan agama di masa sekarang dan masa yang akan datang. Dan yang paling diutamakan adalah ilmu tauhid sebagai dasar segala ilmu.[58]
Menurut Juhaya S. Praja, berdasarkan pada teori ilmu, ilmu dibagi dua cabang besar. Pertama ilmu tentang Allah, dan kedua ilmu tentang makhluk-makhluk ciptaan Allah. Ilmu yang pertama melahirkan ilmu kalam atau theology, dan ilmu kedua melahirkan ilmu-ilmu tafsir, hadits, fiqih, dan metodologi atau ushul al-fiqh dalam arti umum. Ilmu-ilmu kealaman –dengan menggunakan metode ilmiah- termasuk ke dalam cabang ilmu kedua ini. [59]
Al-Ghazali membagi dua kategori ilmu, yaitu ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela. Ilmu yang terpuji ini dibagi dua, yaitu ada yang fardlu ‘ain dan ada yang fardlu kifayah.
a. Ilmu yang fardlu ‘ain atas tiap-tiap muslim, terpecah menjadi lebih dari dua puluh golongan, diantaranya adalah :
1). Ilmu Kalam, karena dengan ilmu kalam diketahui keesaan Tuhan, zat dan sifat-Nya.
2). Ilmu Fiqih, karena dengan ilmu fiqih diketahui ibadah, halal dan haram, apa yang diharamkan dan dihalalkan dari hukum mu’amalah.
3). Ilmu Kitab dan Sunnah, karena dengan perantara keduanya akan sampai kepada ilmu-ilmu yang lain seluruhnya.
4). Ilmu Tashawuf, karena dengannya dapat mengetahui tentang pengetahuan hammba Allah dengan dirinya dan kedudukannya dari Allah Azza wa Jalla.
5). Ilmu Mu’amalah yang ditugaskan kepada hamba Allah yang berakal dan dewasa, untuk mengamalkannnya, ialah tiga : aqidah, berbuat dan tidak berbuat.[60]
b. Ilmu yang fardlu kifayah, yang terbagi menjadi dua, yaitu : ilmu syari’ah dan bukan ilmu syari’ah.
1). Ilmu syari’ah ialah ilmu yang diperoleh dari Nabi-Nabi as. Dan tidak ditunjukkan oleh akal manusia kepadanya, seumpama ilmu berhitung atau percobaan seumpama ilmu kedokteran atau pendengaran seumpama bahasa. Ilmu syari’ah ini adalah ilmu yang terpuji semua. Ilmu-ilmu yang terpuji mempunyai pokok, cabang, mukaddimah dan pelengkap, sehingga berjumlah empat, yaitu :
(a).Pokok (ushul), yaitu ada empat : Kitabullah Azza Wa Jalla, Sunnah Rasul SAW, Ijma’ ummat dan peninggalan-peninggalan shahabat (atsar).
(b). Cabang (furu’), yaitu apa yang dipahamkan dari pokok-pokok (ushul) di atas. Tidak menurut apa yang dikehendaki oleh kata-katanya, tetapi menurut pengertian yang dapat dicapai oleh akal pikiran. Ilmu furu’ini terbagi dua : pertama menyangkut dengan kepentingan duniawi dan termuat dalam kitab-kitab fiqih. Yang bertanggung jawab terhadapnya adalah ulama’ fiqih. Kedua menyangkut dengan kepentingan akhirat. Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi pekerti terpuji dan tercela, hal ihwal yang direlai dan yang dibenci Allah.
(c).Mukaddimah (ilmu pengantar), yaitu ilmu yang merupakan alat seperti ilmu bahasa dan tata bahasa. Keduanya merupakan alat untuk mengetahui isi Kitabullah dan Sunnah Rasul saw. Bahasa dan tata bahasa itu tidaklah termasuk ilmu syari’ah, tetapi harus dipelajari disebabkan agama.
(d).Penyempurna, yaitu : mengenai ilmu Al-Qur’an. Dan terbagi kepada : yang berhubungan dengan kata-katanya seperti mempelajari qiraah (cara membaca) dan bunyi hurufnya. Dan yang berhubungan dengan pengertiannya, seperti tafsir, karena pengertian itu berpegang pula kepada naqal (keadaan di sekitar ayat itu, baik sebab turunnya dan suasananya yang diperoleh dalam sejarah tiap-tiap ayat suci). Karena semata-mata bahasa saja tidak dapat berdiri sendiri. Dan yang berhubungan denganhukumnya. Adapun ilmu penyempurna pada Hadits Nabi dan peninggalan shahabat (atsar), yaitu ilmu mengenai perawi-perawi hadits, namanya, keturunannya, nama-nama shahabat, kepribadiannya dan ilmu mengenai ‘adalah (kejujuran) perawi-perawi dan keadaan mereka yang meriwayatkan Hadits.
2). Bukan ilmu syari’ah, terbagi menjadi ilmu yang terpuji,ilmu tercela dan ilmu yang dibolehkan. Ilmu yang terpuji ialah ilmu yang ada hubungannya dengan kepentingan urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Dan itu terbagi kepada fardlu kifayah dan kepada ilmu utama yang tidak fardlu. Yang fardlu kifayah ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan urusan duniawi, seumpama ilmu kedokteran karena pentingnya dalam memelihara tubuh manusia. Dan seumpama ilmu berhitung, karena pentingnya dalam masyarakat jual beli, pembagian harta wasiat, pusaka dan lain-lainnya.[61]
Djamaluddin Uncok dan Fu’ad Nashari Suroso menganjurkan agar umat Islam tidak terus menerus ketinggalan dan semakin jauh ketinggalan, maka ilmu pengetahuan modern juga dipelajari dan setelah itu disintesakan dengan Islam.[62]
Menurut Shams Al-Din Al-Amuli, sebagaimana ditulis oleh Az-Zumardi Azra, menjelaskan bahwa seluruh ilmu yang dikembangkan di dalam dunia Islam menjadi dua klasifikasi. Dalam klasisfikasi pertama, ilmu dibagi dua : ilmu-ilmu filosofis dan ilmu-ilmu non filosofis. Bagian pertama yang terdiri dari ilmu teoretis dan praktis mencakup metafisika, matematika, etika, ekonomi, dan politik. Bagian kedua yang terdiri dari ilmu-ilmu kegamaan dan non agama mencakup ilmu naqliyah dan aqliyah. Dalam klasifikasi kedua, ilmu-ilmu tersebut terbagi kepada ilmu-ilmu awal dan ilmu-ilmu lanjutan. Bagian pertama mencakup ilmu-ilmu semacam matematika, kedokteran, kimia, astronomi, geografi, etika, politik, ekonomi dan sebagainya. Sedangkan bagian kedua mencakup kesusasteraan, ilmu sya’iyyah, tashawuf, sejarah dan sebagainya. Ilmu-ilmu agama hanya salah satu bagian saja dari berbagai cabang ilmu Islam secara keseluruhan. Kemajuan peradaban Islam berkaitan dengan kamjuan seluruh aspek atau bidang-bidang keilmuan.[63]
Menurut Azyumardi Azra, berbagai cabang ilmu dan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan dipandang dari perspektif Islam pada akhirnya adalah satu. Dalam Islam sebenarnya tidak dikenal pemisahan esensial antara “ilmu agama” dengan “ilmu umum” (profan). Berbagai disiplin ilmu dan perspektif intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mengandung hierarkhi tertentu, tetapi hierarkhi itu pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha Tunggal” yang merupakan substansi dari segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan mengapa para pemikir dan ilmuwan Muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang dikembangkan peradaban-peradaban non-muslim ke dalam hierarkhi ilmu pengetahuan menurut Islam.
Berbeda dengan dua klasifikasi dikotomis yang sudah banyak disinggung di atas, para pemikir keilmuan dan ilmuwan muslim di masa klasik mengkalsifikasi ilmu-ilmu ke dalam dua bagian, yang masing-masingnya merupakan dua sisi dari satu koin yang sama, yang pada esensinya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Klasifikasi pertama adalah al-ulum al-naqliyyah, yakni ilmu-ilmu yang disampaikan Tuhan melalui wahyu, tetapi melibatkan penggunaan akal dan nalar. Klasifikasi kedua adalah al-ulum al-aqliyyah, yakni ilmu-ilmu intelek, yang diperoleh terutama melalui penggunaan akal dan pengalaman pengujian empiris. Kedua klasifikasi ilmu tersebut di atas secara bersama-sama disebut sebagai al-ulum al-husuli, yaitu ilmu-ilmu perolehan. Penyebutan ini adalah untuk membedakan dengan “pengetahuan” (ma’rifah) yang diperoleh melalui ilham (kasyf).[64]
Dengan demikian, ruang lingkup Tafaqquh Fiddiin adalah meliputi semua ilmu yang dikembangkan dalam Islam, yang meliputi seluruh ilmu agama itu sendiri dan ilmu-ilmu umum yang lain sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan manusia.
5. Hukum dan Kedudukan Tafaqquh Fiddiin
Menurut Al-Maraghi berpendapat bahwa pendalaman agama dan mempersiapkan diri untuk mengajarkannya kepada penduduk yang mukim dan mencerdaskan manusia menurut kadar yang dapat menjadikan keadaan mereka menjadi baik adalah wajib, sehingga mereka tidak bodoh tentang hukum-hukum agama secara umum yang wajib diketahui oleh setiap orang yang beriman. Dan oleh karena itu orang yang membekali dirinya untuk mendalami agama untuk tujuan ini akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah mengalahkan orang yang berjihad yang telah mencurahkan harta serta jiwa dan raganya untuk menegakkan kalimat Allah. Bahkan lebih utama dari mereka yang berjihad pada saat selain dalam keadaan yang mewajibkan pertahanan bagi tiap-tiap orang.[65] Jadi tafaqquh fiidiin menurut Al-Maraghi adalah wajib secara mutlak.
Menurut Sa’id Hawwa dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa Tafaqquh Fiddiin adalah merupakan fardlu kifayah.[66]
Menurut Al-Qurthubi dalam penjelasan masalah kedua tentang penafsiran surat At-Taubah ayat 122, menjelaskan bahwa Tafaqquh Fiddiin menurut Al-Kitab dan As-Sunnah adalah wajib kifayah tidak wajib ‘ain. Namun dalam penjelasan masalah yang ke lima dalam tafsir surat At-Taubah ayat 122 kaitannya dengan thalabul ilmi dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Fardlu ‘ain, seperti mendalami agama tentang shalat, zakat dan puasa. Hal ini didasarkan pada dasar hadits “menuntut ilmu wajib bagi setiap orang Islam”
b. Fardlu kifayah, seperti mendalami agama tentang menjaga hak-hak, menegakkan hukum-hukum, memisah dua orang yang bersengketa dan sejenisnya. Hal ini tidak baik bila semua orang mempelajarinya, karena akan menyia-nyiakan keadaan mereka dan pasukan mereka, serta mengurangi kehidupan mereka.[67]
Tafaqquh fiddiin menurut surat At-Taubah ayat 122, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qurthubi adalah mempunyai keutamaan (fadlilah) yang besar dan tingkatan yang mulia yang tidak menyamai amal apapun.
At-Turmudzi telah meriwayatkan dari Hadits Abi Darda’, bahwasannya Abi Darda’ mendengar rasulullah bersabda :
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يْلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْم ِ وَإنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَفْفِرَ لَهُ مَنْ فِى السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فىِ الأَرْضِ وَالخِيْتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإنَّ فَضْلَ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ عَلَى سَا ئِرِ الكَوَاكِبِ وَإنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَ نْبِيَاءِ لَمْ يُوَرِّثُوْل دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إنَّمَا وَرِثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أخَذَ بِهِ أخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Artinya :
Barang siapa yang berjalan pada suatu jalan untuk mencari limu, maka Allah memberinya jalan menuju syurga.dansesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya pada orang yang mencari ilmu dengan sebab rela padanya. Dan sesungguhnya telah memintakan ampun pada seseorang yang ‘alim itu segala apa yang ada di langit dan di bumi sehingga aikan-ikan yang ada di dasar air. Sesungguhnya perbandingan antara orang yang Alim dengan orang Ahli Ibadah (bukan ahli Ilmu), itu sebagaimana keutamaan bulan pada malam bulan purnama atas semua bintang. Dan sesungguhnya ulama’ itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, tetapi mereka itu mewariskan ilm. Maka barang siapa yang telah memiliki ilmu berarti ia telah mengambil bagian yang sempurna.
Ad-Darimy Abu Muhammad dalam kitab musnadnya juga meriwayatkan, bahwasannya Al-Auza’I menceritakan dari Al-Hasan, berkata :
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهَ صلى الله عليه وسلم عَنْ رَجُلَيْنِ كَانَ فِى بَنِى إِسْرَائِيْلَ أَحَدُهُمَا كَانَ عَالِمًا يُصَلِّى الْمَكْتُوْبَةَ ثُمَّ يَجْلِسُ فَيُعَلِّمَ النَّاسَ الْخَيْرَ, وَالأَخَرُ يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ اللَّيْلَ أَيُّهُمَا أَفْضَلُ ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهَ صلى الله عليه وسلم : فَضْلُ هَذَاالْعَالِمِ الَّذِيْ يُصَلِّي الْمَكْتُبَةَ ثُمَّ يَجْلِسُ فَيُعَلِّمُ النَّاسَ الخَيْرَ عَلَى الْعَابِدِ الَّذِى يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ اللَّيْلَ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ
Artinya :
“Rasulullah saw pernah ditanya tentang dua orang dari Bani Isra’il, yang satu (‘alim) sedang shalat fardlu kemudian duduk dan mengajar kebaikan kepada manusia, dan yang satunya sedang berpuasa di waktu siang dan bangun di waktu malam (untuk beribadah), manakah yang lebih utama diantara keduanya ? Rasulullah saw. bersabda : Keutamaan orang yang ‘alim (berilmu) yang sedang shalat fardlu kemudian duduk mengajar kebaikan kepada manusia atas ‘abid (ahli ibadah) yang sedang berpuasa di waktu siang dan bangun di waktu malam (untuk beribadah) adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara kamu”.
Abu Umar menerangkan dalam kitab bayanul ilmi dari Abi sa’id Al-Khudzriy berkata, bersabda Rasulullah saw.:
فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أُمَّتِى
Artinya :
“Keutamaan orang yang ‘alim (berilmu) atas ‘abid (ahli ibadah), itu seperti keutamaanku atas umatku”
Ibnu Abbas berkata :
أَفْضَلُ الْجِهَادِ مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يُعَلِّمُ فِيْهِ القُرْأَنَ وَالْفِقْهَ وَالسُّنَّهَ
Artinya :
“Jihad yang paling utama adalah jihadnya orang yang membangun masjid kemudian digunakan untuk mengajarkan Al-Qur’an, fiqih dan sunnah”
Diriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir dari Ali Al-Azdali berkata : “Saya ingin berjihad” Maka Ibnu Abbas berkata kepadaku : “Bukankah saya telah menunjukkan kepadamu tentang sesuatu yang lebih baik bagimu dari pada jihad ?, yaitu kamu datang ke masjid lalu membaca Al-Qur’an di sana dan mempelajari fiqih”.
Ar-Rabi’ berkata, saya pernah mendengar Asy-Syafi’I berkata :
طَلَبُ الْعِلْمِ أَوْجَبُ مِنَ الصَّلاَت النَّافِلَةِ
Artinya :
“Mencari ilmu lebih wajib daripada menjalankan shalat sunnah”[68]
Ibrahim bin Isma’il dalam Syarah Ta’limul Muta’allim menjelaskan bahwa kedudukan seorang faqih (ahli dalam bidang agama) yang wira’I (menjaga dari yang subhat), akan sangat ditakuti oleh setan daripada seribu ahli ibadah yang tidak faqih. Seorang yang ahli di bidang agama adalah musuh setan, karena setan mengajak manusia menuju kefasikan, kekufuran dan melenceng dari kebaikan (al-haq), sedangkan orang yang ahli di bidang agama memerintahkan manusia untuk beriman dan taat, dan mengajak mereka berpaling dari jalannya seta menuju jalan yang Maha Rahman (Allah), sedangkan seorang ahli ibadah tidak akan melakukan hal ini sama sekali bila tidak mengerti tentang agama, bahkan ia hanya menyembah Allah dengan tanpa tidak tahu caranya.[69]
6. Relevansi Tafaqquh Fiddiin dalam Pendidikan Islam
Tafaqquh fiddiin adalah merupakan wasilah (perantara) dan alat untuk berjihad dengan menggunakan hujjah dan bukti-bukti. Ia merupakan unsur tetap (ar-ruknu ar-rakiin) di dalam dakwah (mengajak) menuju keimanan dan menegakkan penyangga agama Islam. Jihad tidak dilakukan dengan pedang kecuali untuk menjaga dan memagari (melindungi) dakwah dari serangan dan gangguan orang-orang kafir dan orang-orang munafik.[70]
Antara jihad dan Tafaqquh Fiddiin keduanya sama-sama wajib hukumnya dalam bentuk kifayah. Hukum jihad adalah fardlu kifayah selama tidak dalam keadaan yang mendesak yang menuntut semua orang Islam untuk ikut. Demikian pula Tafaqquh Fiddiin, juga diwajibkan sebagai perantara untuk jihad dan mempertegak ajaran-ajaran Agama Islam.
Tiap-tiap orang Islam wajib berjihad, baik siang maupun malam, bahkan tidur itu sendiri adalah termasuk jihad karena dapat menguatkan tubuh untuk bekerja. Termasuk makan, minum dan olah raga, semua itu bila kita tujukan untuk menjaga kesehatan kita agar bermanfaat untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kita adalah termasuk jihad. Oleh karena itu wajib bagi semua orang Islam untuk menggunakan semua waktunya untuk bekerja dan menuntut ilmu.
Haram bagi orang-orang Islam meninggalkan ilmu atau atau pekerjaan, karena itu semua merupakan jihad. Telah jelas bahwa mengangkat senjata untuk menyerang musuh bukanlah satu-satunya cara untuk berjihad. Tetapi ada yang lebih utama dari itu semua, yaitu menegakkan hujjah-hujjah (dalil-dalil), menerangkan jalan dan menjelaskan hakekat-hakekat (agama). Para ulama’ kita sepakat untuk menyebut ini semua sebagai “al-jihad al-akbar” (perang besar), sebagaimana sabda Rasulullah saw. :
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الأَكْبَرِ جِهَادِ النَّفْسِ
Artinya :
“Kita telah pulang dariperang kecil menuju perang besar, yaitu perang nafsu”
Al-Qudamiy berkata :
إِنَّ تَعَلُّمَ الْعِلْمِ والتَّفَقُهَ فىالدِّيْنِ هُوَ الْجِهَادُ الأَكْبَرُ
Artinya :
“Sesungguhnya mempelajari ilmu dan mendalami agama adalah jihad (perang) yang besar”.[71]
Orang-orang yang berjuang di bidang pengetahuan, oleh agama Islam disamakan nilainya dengan orang-orang yang berjuang di medan perang. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
يُوْزَنُ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ مِدَادَالْعُلَمَاءِ بِدَمِالشُّهَدَاءِ
Artinya :
“Di hari kiamat kelak, tinta yang digunakan untuk menulis oleh para ulama’ akan ditimbang dengan darah para syuhada’ (yang gugur di medan perang”.
Tugas utama Umat Islam adalah untuk mempelajari agamanya, serta mengamalkannya dengan baik, kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang belum mengetahuinya. Tugas-tugas tersebut adalah merupakan tugas umat dan tugas setiap pribadi Muslim, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan masing-masing, karena Rasulullah saw telah bersabda :
بَلِّغُوْا عَنِّيْ وَلَوْ أَيَةً
Artinya :
“Sampaikanlah olehmu (apa-apa yang telah kamu peroleh) dari padaku, walaupun hanya satu ayat Al-Qur’an saja”
Akan tetapi, tentu saja tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk bertekun menuntut ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sebagian sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama, agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan da’wah Islamiyah dengan cara atau metode yang baik sehingga mencapai hasil yang lebih baik pula.
Apa bila umat Islam telah memahami ajaran-ajaran agamanya, dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama, tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dapat melaksanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera dunia dan akhirat.
Di samping itu perlu diingat, bahwa apabila umat Islam menghadapi peperangan besar yang memerlukan tenaga manusia yang banyak, maka dalam hal inilah seluruh umat Islam harus dikerahkan untuk menghadapi musuh. Tetapi bila peperangan itu sudah selesai, maka masing-masing harus kembali kepada tugasnya semula, kecuali sejumlah orang-orang yang diberi tugas khusus untuk menjaga keamanan dan ketertiban, dalam dinas kemiliteran atau kepolisian.
Oleh karena ayat ini telah menetapkan bahwa fungsi ilmu tersebut adalah untuk mencerdaskan umat, maka tidaklah dapat dibenarkan bila ada orang-orang Islam yang menuntut ilmu pengetahuan hanya untuk mengejar pangkat dan kedudukan atau keuntungan pribadi saja, apalagi untuk menggunakan ilmu pengetahuan sebagai kebanggan dan peninggian diri terhadap golongan yang belum berilmu pengetahuan.
Orang-orang yang telah memeiliki ilmu pengetahuan haruslah menjadi mercu suar bagi umatnya. Ia harus menyebar luaskan ilmunya, dan membimbing orang lain agar memiliki ilmu pengetahuan pula. Selain itu, ia sendiri juga harus mengamalkan ilmunya agar menjadi contoh dan tauladan bagi orang-orang sekitarnya dalam ketaatan menjalankan peraturan dan ajaran-ajaran agama.
Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian, bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan, setiap mukmin mempunyai tiga macam kewajiban, yaitu : menuntut ilmu, mengamalkan dan mengajarkan kepada orang lain.
Menurut pengertian yang tersirat dari ayat ini, kewajiban menuntut ilmu pengetahuan ditekankan di sini adalah dalam bidang ilmu agama. Akan tetapi agama adalah sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dan segi kehidupan manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat mencerdaskan umat serta mensejahterakan kehidupan mereka, dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, wajib dipelajari. Umat Islam diperintahkan oleh Allah untuk memakmurkan bumi ini dan menciptakan kehidupan yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban adalah wajib pula hukumnya. Dalam halini, para ulama’ Islam telah menetapkan suatu kaidah yang berbunyi :
كُلُّ مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Artinya :
“Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan yang wajib, maka ia wajib pula hukumnya”.
Karena pentingnya fungsi ilmu dan para sarjana, maka beberapa negara Islam membebaskan para ulama’ (sarjana) dan mahasiswa pada perguruan agama, dan wajib militer, agar pengajaran dan pengembangan ilmu senantiasa dapat berjalan dengan lancar, kecuali bila negara sedang menghadapi bahaya yang besar, yang harus dihadapi oleh segala lapisan masyarakat.[72]
Dari keterangan di atas dapat diketahui, bahwa Tafaqquh Fiddiin adalah merupakan bagian dari jihad dalam bidang pendidikan Islam yang wajib dilaksanakan oleh orang Islam dan masih sangat relevan, bahkan amat penting dalam rangka untuk mencerdaskan umat Islam dan mempertegak ajaran-ajaran Islam. Sedangkan kaitannya dengan pendidikan Islam sendiri, tafaqquh fidddin juga relevan untuk dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Islam, yang tidak hanya tertumpu pada mata pelajaran PAI saja, tetapi juga pada bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lain, yang dapat digunakan untuk mengembangkan materi-materi Pendidikan Agama Islam.
[1] Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Bairut Turki, Dar Al-Fikr, 1974, hlm. 50
[2] Al-Imam Muhammad Al-Razi Fakhruddin Ibnu Allamah Dliya’uddin Umar, Tafsir Al-Fahru Al-Razi, At-Tafsir Al-Kabir wa Mafatiihul Ghaib, Bairut, tt, hlm 223.
[3] Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Opcit, hlm. 50.
[4] Al-Imam Muhammad Al-Razi Fakhruddin Ibnu Allamah Dliya’uddin Umar, Opcit, hlm. 223 – 225.
[5] R.H.A. Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : CV. ATLAS, 1998, hlm. 275.
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1983/1984, hlm. 63 – 64.
[7] RHA. Soenarjo, Op cit, hlm. 276.
[8] Ibid, h. 303.
[9] RHA. Soenarjo, Ibid, hlm. 31
[10] Jalaluddin As-Suyuthi, Lubabun Nuquul Fi Asbaabin Nuzuuli, Surabaya, Al-Hidayah, tt, hlm. 201-202.
[11] Asy-Syaikh Thanthawi Jauhari, Al-Jawahir Fi Tafsiril Qur’anil ‘Adzim, Mesir, Musthafa Al-Yabiy Al-Halbiy Wa Auladihi, 1350 H, hlm.171.
[12] Ismail bin Katsir Al-Qurasy Al-Dimsyqy, Tafsir Al-Qur’anul Adzim, Bairut Libanon, Mu’assasah Ar-Royyan, tt, hlm. 525.
[13] Imam Muhammad Ar-Razi Fakhruddiin Ibnu Allamah Dliyauddin Umar, Opcit, hlm. 231.
[14] R.H.A. Soenarjo, Opcit, hlm. 301.
[15] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdur Rahman bin Abu Bakar As-Suyuthi, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Surabaya, Alhidayah, tt, hlm. 169 – 170.
[16] Bachtiar Surin, Az-Zikra Terjemah dan Tafsir, Bandung, Penerbit Angkasa, 2002, hlm. 823 – 824.
[17] A.Hassan, Tafsir Al-Furqon, Bangil, Persatuan & Pustaka Taman, 1406 H, hlm. 387 - 388
[18] Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Opcit, hlm. 47 – 48.
[19] Departemen Agama RI, Opcit, hlm. 285 – 286.
[20] Al-Imam Muhammad Al-Razi Fakhruddin Ibnu Allamah Dliya’uddin Umar, Opcit, hlm. 231 - 232.
[21] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari, Al-Jami’ Li-ahkamil Qur’an, Bairut-Libanon, 1965, hlm. 1193 – 196.
[22] Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur’anul Karim, Chai Chee Road Singapore, Basheer Ahamed, 1979, hlm 287.
[23] Muhammad Nawawi Al-Jawi, Marah Labiid Tafsir An-Nawawi, Surabaya, Al-Hidayah, tt, hlm. 359 – 360.
[24] Sa’id Hawwa, Al-Asasu Fit-Tafsir, Kairo, Dar Al-Salam, 1405 H/1985 M, hlm. 2375
[25] Asy-Syaikh Thanthawi Jauhari, Op cit, hlm. 171
[26] RHA. Soenarjo, Opcit, hlm. 1079
[27] Ibid, hlm, 489.
[28] Ibid, hlm. 172
[29] Ibid, hlm. 128.
[30] Ibid, hlm. 408.
[31] Ibid, hlm. 421.
[32] Ibid, hlm. 747.
[33] Ibid, hlm. 910 – 911.
[34] Al-Munjid Fil Lughati Wal-A’lam, Dar El-Machreq, Bairut Lebanon, 1986, hlm. 591.
[35] Muhammad Ma’shum bin Ali, Al-Amtsilah At-Tashrifiyah, Surabaya, Salim Nabhan, tt, hlm. 20.
[36] Muhammad Alisy, Hillul Ma’quur Min Nadhmil Maqshud, Syirkah Nur Asia, tt, hlm. 58
[37] Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar ilmu Fiqih, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 15.
[38] Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Islam 2, Jakarta, PT. Bachtiar Baru van Hoeve, 2003, hlm.8.
[39] Aly As’ad, Fathul Mu’in, Kudus, Menara, 1980, hlm. 15.
[40] Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqih Metodologi Hukum Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 1.
[41] Sa’id Hawwa, Op cit, hlm. 2374.
[42] Ismail Yakub, Terjemahan Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghazali, Singapura, Pustaka Nasional Pte Ltd, 2003, hlm. 133.
[43] Irfan Hielmy, Modernisasi Pesantren Meningkatkan Kualitas Umat Menjaga Ukhuwah, Bandung, Nuansa, tt, hlm. 121.
[44] Sumanto Al-Qurtubi, Era Baru Fiqh Indonesia, Yogyakarta, CERMIN, 1999, hlm. 42 – 43.
[45] Al-Munjid Fil-Lughati Wal A’lami, Bairut, Darul Masyriq, 1986, hlm. 231.
[46] Juhaya S.Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, Bandung, Mizan Media Utama, 2002, hlm. 21-22.
[47] Depag RI, Op cit, hlm. 288.
[48] Isma’il bin Katsir Al-Qurasyiy, Op cit, hlm. 524.
[49] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Ciputat, PT. Logos Wacana Ilmu, 2001. hlm. 28.
[50] Abul Fadl Al-Qurasyi Ash-Shiddiqi Al-Khathib Al-Kazruniy, Hasyiyah Al-Kazruniy Hamisy Tafsir Al-Baidlawi, Libanon, Dar Al-Fikr, tt, hlm. 84.
[51] Nashiruddin Abu Sa’id Abdullah bin Umar bin Muhammad Asy-Syirazi Al-Baidlawi, Tafsir Al-Baidlawi, Libanon, Dar Al-Fikr, tt. hlm. 84.
[52] Depag RI, Ibid, hlm. 288.
[53] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Matn Al-Bukhari Bi-Hasyiyatis Sanadi, Semarang Toha Putra, tt. Hlm. 24.
[54] Muhammad Ar-Razi Fahruddin Ibnu Allamah Dliya’uddin Umar, Op cit, hlm. 231 – 232.
[55] Ibid, hlm.232.
[56] Nashiruddin Abu Sa’id Abdullah bin Umar bin Muhammad Asy-Syirazi Al-Baidlawi, Op cit, hlm.84.
[57] Asy-Syaikh Thanthawi Jauhari, Op cit, hlm. 172.
[58] Ibrahim bin Isma’il, Syarah Ta’limul Muta’allim Liz-Zarnuji, Semarang, Pustaka Al-Alawiyah, tt, hlm.13.
[59] Juhaya S. Praja, Op cit, hlm.6.
[60] Ismail Yakub, Op cit, hlm. 78 – 79.
[61] Ibid, hlm. 84 – 87.
[62] Djamaluddin Uncoh & Fu’ad Nashari Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 117.
[63] Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar), dalam Charles Michael Stanton, (diterjemahkan Afandi & Hasan Asarsi), Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1994. hlm. Xii.
[64] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2002, hlm. 109-111.
[65] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Ibid, hlm. 48.
[66] Sa’id Hawwa, Op cit, hlm. 2375.
[67] Muhammad bin Ahmad Al-Anshori Al-Qurthubi, Op cit, hlm. 295.
[68] Muhammad bin Ahmad Al-Anshori Al-Qurthubi, Ibid, hlm. 295 – 296.
[69] Ibrahim bin Isma’il, Op cit, hlm. 7.
[70] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Op cit, hlm. 47.
[71] Asy-Syaikh Thanthawi Jauhari, Op cit, hlm. 171 – 172.
[72] Departemen Agama RI, Op cit, hlm. 286 – 289.