Buku Pengayaan PAI Harus Komprehensif
Pengayaan materi menjadi salah satu hal yang cukup urgen dalam rangka proses pemahaman pada mapel. Tentu saja dalam kerangka tersebut juga perlu sekali adanya realisasi referensi agar siswa lebih banyak mendapatkan wawasan dan yang terpenting adalah penguasaan dengan pemahaman materi itu sendiri.
"Buku pengayaan PAI harus mampu memperkaya materi", ungkap Plt. Direktur PAI Moh. Nur Kholis Setiawan dalam sambutannya pada kegiatan Penyusunan Juknis/Juklak/ Pedoman Buku Pengayaan PAI SMP (29/9). Buku tersebut harus mampu mengakomodasi berbagai pendapat yang dalam informasi rumpun ilmu keislaman. PAI pada sekolah merupakan rumpun ilmu, bukan bidang atau fokus ilmu. PAI pada sekolah memiliki kontruksi akidah akhlak, al-Quran hadits, fikih, dan sejarah kebudayaan Islam.
Dalam konteks arahan untuk penyusunan buku pengayaan, Nur Kholis Setiawan menganalogikan buku ini pada produk pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani, dalam karyanya Tafsir Mirah Lubid. Menurutnya, tafsir al-Nawawi ini mengutip beberapa pendapat dalam kitab tafsir sebelumnya, seperti al-Futuhat al-Ilahiyah karya Ibn al-Arabi representasi sufistik, Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Razi representasi falsafah dan kalam, al-Siraj al-Munir karya al-Khatib al-Syirbini representasi fikih, Tanwir al-Miqbas karya Ibn `Abbas representasi otentisitas tafsir, dan Tafsir Abu al-Sa`ud representasi tafsir bi al-Ma`tsur.
Keragaman sumber ini mengindikasikan kekayaan khazanah yang ditulisnya sesuai dengan perkembangan ilmu dan kebutuhan. Dalam hal ini buku pengayaan dapat mengelaborasi berbagai pendapat, konsep, yang mengitari materi tertentu.
Penyusunan buku pengayaan ini harus menggunakan referensi yang terpercaya (mu`tabar). Sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan dalam otentisitas ilmu. Contoh analogi ini memberikan arah bahwa buku pengayaan yang baik itu berkarakter komperehensif, referensi yang valid, dan sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan peserta didik.