(Bukan) Ayah Yang Galak
“Aa, Abang, Kaka masuk kamar!” suara Ayah tegas dengan nada dan volume cukup tinggi namun bermimik wajah lembut.
Ada apa gerangan? Ayah hampir tidak pernah sekeras ini saat berbicara.?
Kami bertiga masuk ke kamar, menuruti perintah Ayah dengan kepala tertunduk. Peluh masih membasahi sekujur punggung, kami baru pulang bermain bola di kampung sebelah saat adzan Isya telah berkumandang. Memang kami terlalu larut bermain.
Kamar itu sebenarnya sebuah garasi yang disulap menjadi tempat tidur bersama dan ruang serbaguna dengan penerangan lampu seadanya.
Aa bersila diantara aku dan Kaka yang juga ikut bersila. Kami sering disebut ‘Tiga Serangkai’ oleh tetangga karena selalu bertiga kemana-mana. Ayah pun bersila di hadapan kami. Wajahnya mempertontonkan kekecewaan yang semakin membuat kami ciut.
“Kenapa pulang selarut ini?” Ayah mulai menginterogasi kami.
Aa sebagai kakak lelaki pertama memposisikan diri sebagai juru bicara dan mulai berkilah panjang tentang alasan kenapa pulang larut malam. Mulai dari sendal Kaka yang hilang sebelah karena dijahili anak kampung sebelah hingga diajak main Playstation setelah main bola oleh Dodi, tetangga sekaligus teman karib kami bertiga.
“Sudah shalat maghrib?”
Sebuah pertanyaan yang mencekat. Aa diam membeku. Apalagi aku, Apalagi Kaka yang paling muda. Kami betul-betul lupa waktu saat itu. Hanya menundukkan kepala yang bisa kami lakukan. Mungkin karena ini wajah ayah begitu kecewa.
"Bu, tolong matikan lampu..!!”, suara Ayah lembut kepada Ibu.
Ibu yang semenjak awal ternyata mendengarkan di balik pintu kemudian masuk dan mematikan lampu lalu duduk di samping Ayah. Kamar seketika gelap gulita.
“Apa yang bisa kamu lihat sekarang?”
Hening...
"Semua gelap, lihat sekeliling kamu, hanya ada hitam. Tapi ulurkan tanganmu ke kanan dan ke kiri. Kamu akan merasakan genggaman tangan saudaramu dan Ayah Ibu.”
Kami saling menggenggam.
“sekarang kalian masih bisa bergenggaman tangan, tapi tidak lagi saat nanti di alam kubur. Karena kamu akan sendirian dalam kegelapan. Tidak ada saudaramu. Tidak ada Ayah Ibu. Hanya sendiri. Sendiri dalam kegelapan dan kesunyian.”
Aku tercekat. Semua terdiam. Genggaman tangan di kanan kiriku mengerat. Lalu terdengar suara korek api kayu dinyalakan, sesaat tergambar wajah Ayah, Ibu, Aa, dan Kaka akibat kilatan cahaya api pada korek yang dinyalakan Ayah. Semua berwajah sendu. Korek itu membakar sebuah benda yang menghasilkan bara berbau menyengat. Bau obat nyamuk.
"Siapa yang berani menyentuh bara ini?” suara Ayah masih mendominasi.
Semua diam. Masih diam.
“Ini hanya bara. Bukan api neraka yang panasnya jutaan kali lipat api dunia. Maka masihkah kita berani meninggalkan shalat*
Shalat yang akan menyelamatkan kita dari gelapnya alam kubur dan api neraka.”
Terdengar suara isak tangis perempuan. Itu Ibu. Genggaman kami semua semakin menguat.
"Tolong Ayah. Tolong Ibu. Ayah Ibu akan terbakar api neraka jika membiarkan kamu lalai dalam shalat. Aa, usiamu 14 tahun, paling dewasa di antara semua lelaki.
Abang, 12 tahun.
Kaka, 10 tahun.
Bahkan Rasul memerintahkan untuk memukul jika meninggalkan shalat di usia 10 tahun.
Apa Ayah perlu memukul kamu?”
Suara isak tangis mulai terdengar dari hidung kami bertiga. Takut. Itu yang kurasakan. Kami semua saling mendekat. Mendekap, bukan lagi menggenggam.
“Berjanjilah untuk tidak lagi meninggalkan shalat. Apapun keadaannya.
Sekarang kita shalat Isya berjamaah. Dan kamu bertiga mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang".
__________________________