Begini Nasib Guru Honorer, Gaji Tidak Cukup untuk Kebutuhan Keluarga, Nyambi dari Pemulung sampai Tukang Ojek
Nasib guru honorer di era saat ini tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Sebaliknya malah semakin buruk. Temuan dari Ikatan Guru Indonesia (IGI), banyak guru honorer yang diikat kontrak oleh pemerintah daerah (pemda). Tetapi klausul di dalam kontrak tersebut, guru honorer tidak menerima atau dilarang menuntut gaji.
Ketua Umum IGI Muhammad Ramli Rahim mengatakan, pemda yang mengikat kontrak guru honorer tanpa ada jaminan pemberian gaji, sangat tidak manusiawi. ’’Sementara di sisi guru honorer sendiri, mereka berada di posisi lemah,’’ katanya di Jakarta kemarin. Sehingga di lapangan, banyak guru honorer yang terpaksa menerima kontrak ikatan kerja tersebut.
Dia menjelaskan dengan tidak adanya alokasi gaji dari kas pemda untuk guru honorer, maka otomatis gaji guru honorer terpaku pada dana bantuan operasional sekolah (BOS). Sementara kondisi yang terjadi saat ini, pencairan dana BOS tersendat di tingkat pemerintah provinsi. Sehingga dana BOS belum bisa mengucur ke sekolah.
Gaji tidak Mencukupi Kebutuhan Keluarga, Rela Nyambi Kerjaan Lain
Bapak Mursidi, Guru Honorer di SMPN 1 Montong Gading, NTB, Nyambi sebagai Pemulung
Bapak Mursidi adalah seorang guru honorer dan staf tata usaha di SMPN 1 Montong Gading. Pagi hingga siang hari Mursidi, 26 tahun, seorang guru sekaligus staf tata usaha. Pulang sekolah berganti kostum, menjadi pemulung yang merangkap pedagang keliling. Inilah kiprah anak muda penggerak ekonomi kecil di desanya.
Mursidi punya pandangan tersendiri tentang mencari nafkah. Lahir di orang tua pas-pasan, buruh tani dan pengembala ternak, banyak rekan bermainnya yang memilih menjadi buruh migran. Desa Pesanggrahan adalah salah satu kantong TKI ke Malaysia. Mursidi beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi.
Menjadi guru adalah harapan orang tuanya, dan Mursidi melakoni itu. Tapi dalam hati kecilnya dia melihat banyak potensi di desa yang disia-siakan begitu saja. Banyak usaha yang sebenarnya bisa dilakoni untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Jika diseriusi bisa menjadi pekerjaan pokok. Mursidi melihat tidak banyak anak muda di kampungnya melihat potensi itu.
Melakoni sebagai pemulung dan pedagang keliling, sekaligus guru, Mursidi ingin menunjukkan dirinya yang sarjana tidak mau melakukan pekerjaan itu. Menjadi sarjana bukan berarti gengsi melakukan pekerjaan yang dinilai hanya untuk orang tidak berpendidikan. Justru dengan pendidikan tinggi itu, pekerjaan itu bisa bernilai lebih. Mursidi tidak sekadar membeli dan menjual barang bekas, tapi dia juga membantu ratusan warga kurang mampu. Mengubah sampah jadi duit. Sehari perputaran uang dari barang yang dijual, sampah yang dikumpulkan, produksi olahan makanan titipan anggota kelompok usaha bisa mencapai Rp 1.000.000.
Bapak Fakhrur Rasyidi, Guru Honorer, SDN Banjarimbo II Kec Lumbang, Kab Pasuruan, Nyambi sebagai Tukang sampah.
Selama 10 tahun menjadi guru, bapak satu anak itu hanya menerima gaji per bulan sebesar Rp 125.000.
Padahal, jarak tempat mengajar Fakhrur dari rumahnya tidak pendek. Ia harus menempuh jarak sekitar 35 kilometer menuju pedalaman Lumbang supaya bisa mengajar. Sebab, rumah Fakhrur berada di Desa Ranu Klindungan, Kecamatan Grati.
Meski begitu, Fakhrur tidak patah semangat. Dirinya berjanji akan terus mengajar. Karena baginya mengajar adalah bagian dari pengabdian.
"Saya hanya ingin mengamalkan ilmu saya," ungkapnya
Sementara itu, Fakhrur mempunyai cara sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain menjadi guru, Fakhrur juga menjadi tukang sampah. Pekerjaan itu ia lakoni sejak tahun 2008 lalu. Ketika itu, Fakhrur butuh tambahan penghasilan karena menjadi guru hanya digaji sedikit.
Bapak Siswanto, Guru Honorer, SDN 02 Purwodadi, nyambi sebagai Sopir dan kuli bangunan
Beliau mengaku hanya mendapatkan honor Rp200 ribu setiap bulannya. Padahal, dia telah bekerja menjadi guru honorer selama 12 tahun.
Pria berusia 48 tahun itu mengaku honor per-bulan tidak cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Siswanto memiliki dua orang anak, masing-masing berusia lima dan 13 tahun.
Untuk menambah penghasilan, Siswanto harus memutar otak mencari sumber penghasilan lainnya. Pria yang mengenakan batik cokelat itu biasanya harus bekerja sambilan menjadi sopir, dan kuli bangunan.
Hasan Basri, Guru Honorer, SMA Negeri 1 Muratara, Sumsel, nyambi sebagai buruh dan petani
Beliau menuturkan, belum terima gaji selama lima bulan ini. "Jadi sudah lima bulan ini kami tidak gajian. Sesuai SK Bupati gaji kami Rp600 ribu per bulan," ungkap guru mata pelajaran Ekonomi ini.
Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, bapak satu anak ini terpaksa mencari kerja sampingan sebagai buruh dan petani.
Bapak Dede Kuswandi (46), Guru Honorer, SDN Prana, Kecamatan Cikole, Kota Sukabumi, Jawa Barat, nyambi sebagai OJEK
Meski Dede Kuswandi sudah puluhan tahun mengabdi sebagai guru honorer, namun gaji yang diterimanya jauh di bawah upah minimum kabupaten/kota (UMK). “Ya, hampir sepuluh tahun lebih saya mengabdi. Awalnya honor yang saya terima Rp350.000. Alhamdulillah dua tahun terakhir naik jadi Rp500.000 per bulan" Kata Dede.
Dengan upah yang jauh di bawah UMK, ditambah harga bahan sembako semakin melambung, tentunya tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup kedua anak dan istrinya. Kondisi ini memaksa Dede Kuswandi memutar otak untuk mencari penghasilan tambahan dengan harapan dapat menutupi kebutuhan hidup keluarganya. “Untuk nambah penghasilan, setelah pulang ngajar saya langsung berangkat ngojeg. Itu juga kalau tidak ada jadwal ekstrakurikuler sekolah,” tuturnya.
Walaupun upah yang diterima jauh dari kata layak, tapi tidak menyurutkan semangatnya untuk meningkatkan prestasi anak bangsa. Pasalnya, siswa binaannya telah menorehkan prestasi yang membanggakan. Apalagi dalam beberapa hari ke depan dirinya akan terus mengintensifkan pembinaan atlet cabang olahraga (cabor) voli untuk persiapan olimpiade olahraga siswa nasional (O2SN) tingkat Kota Sukabumi. “Tiap tahun SDN Prana selalu ada wakil atlet cabor voli. Alhamdulillah tahun kemarin atlet voli kita juara satu tingkat kota. Mudah-mudahan tahun ini bisa juara lagi,” ujar pria lulusan sarjana olahraga ini.
Alasan mencintai profesi guru, lanjut Dede, adalah pengabdian dan impiannya ingin menjadi aparatur sipil negara (ASN). Sehingga membuat dirinya enggan mencari pekerjaan lain. “Saya jadi guru honorer karena ingin mengamalkan ilmu sekaligus mengabdi meski harus penuh kesabaran. Tapi saya tidak menampik, kedepannya ingin diangkat jadi ASN,” akunya.