Adab Memuliakan Guru
Pada tulisan sebelumnya saya sudah menulis perihal adab seorang murid kepada gurunya, Adab Murid Kepada Guru. Pada tulisan tersebut saya baru memaparkan adab pertama yakni harus ikhlash sebelum melangkah. Berikut saya akan paparkan adab seorang murid kepada guru yang selanjutnya.
Memuliakan orang yang berilmu termasuk perkara yang dianjurkan. Sebagaimana Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak termasuk golongan kami; orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak seorang ulama”. (HR. Ahmad dan al-Hakim. Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir).
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid memperhatikan gurunya dengan pandangan penghormatan. Hendaklah ia meyakini keahlian gurunya dibandingkan yang lain. Karena hal itu akan menghantarkan seorang murid untuk banyak mengambil manfaat darinya, dan lebih bisa membekas dalam hati terhadap apa yang ia dengar dari gurunya tersebut” (Al-Majmu’ 1/84).
Sikap yang sepatutnya ditampilkan seorang Muslim ketika berhadapan dengan ahli ilmu (guru), terlebih lagi ahli dalam ilmu agama, adalah hormat, memuliakannya (ikram), dan bila perlu melayani keperluannya (khidmah). Demikianlah akhlak seorang Muslim terhadap ulama, apalagi jika ia sedang atau pernah berguru langsung kepada sang guru.
Memuliakan guru atau orang yang telah mendidik kita, mengagungkannya, bahkan melayaninya merupakan sikap para salaf. Mereka melakukan hal itu karena mengharap keberkahan ilmu sang ulama turut pula mengalir padanya.
Seorang ulama juga pernah bertutur, "Jika engkau menjumpai seorang murid sangat antusias memuliakan gurunya dan menghormatinya secara zahir dan batin disertai keyakinan pada sang guru, mengamalkan ajarannya, dan bersikap dengan perilakunya maka pasti dia akan mewarisi barakah ilmu sang guru."
Pada masa lampau, mereka yang memuliakan guru atau ulama bukan saja para pelajar. Namun, para pemuka bahkan khalifah dan raja-raja melakukan hal serupa.
Mereka itu pun mewariskan sikap demikian kepada anak keturunannya. Iman, ilmu, dan adab memang tidak bisa diwariskan begitu saja dari orang tua ke anak, namun harus disertai keteladanan dari orang tua.
Syekh Az-Zarnuji dalam Ta'lim Al-Mut'allim mengisahkan, suatu saat Khalifah Harun Ar-Rasyid mengirimkan putranya kepada Imam Al-Ashma'i, salah satu ulama besar yang menguasai bahasa Arab untuk belajar ilmu dan adab. Di sebuah kesempatan, Harun Ar-Rasyid menyaksikan Al-Ashma'i sedang berwudhu dan membasuh kakinya sedangkan putranya menuangkan air untuk sang guru.
Setelah menyaksikan peristiwa itu, Harun Ar-Rasyid pun menegur Al-Ashma'i atas tindakannya itu, "Sesungguhnya aku mengirimkan anakku kepadamu agar engkau mengajarinya ilmu dan adab. Mengapa engkau tidak memerintahkannya untuk menuangkan air dengan salah satu tangannya lalu membasuh kakimu?"
Putra Khalifah Harun Ar-Rasyid, Al-Amin dan Al- Makmun, pernah berebut sepasang sandal Syekh Al-Kisa'i.Keduanya berlomba untuk memasangkan sandal syekhnya itu di kakinya sehingga mengundang kekaguman sang guru. Syekhnya lalu berucap, "Sudah, masing-masing pegang satu-satu saja."
Sikap menghormati, memuliakan, dan melayani ahli ilmu saat ini sudah semakin memudar. Teori-teori pendidikan modern menyepelekan nilai-nilai positif di atas. Teori yang lahir hanya bagaimana cara menyerap ilmu, menelannya, masuk ke otak hingga membuat cepat mengerti. Sedikitpun tidak disinggung bagaimana sikap terhadap orang yang lebih tua dan sikap terhadap guru.
Pendidikan yang tidak menekankan adab dan sopan santun hanya akan mentransfer ilmu sampai ke otak saja.
Ilmu itu tidak akan sampai ke hati. Ilmunya sebatas teori tanpa praktik. Alhasil nantinya, lahir insan-insan yang cuma pandai beretorika, namun miskin aplikasi.
Pendidikan yang menekankan pelayanan, penghormatan, dan kepatuhan pada guru (ahli ilmu) melahirkan hubungan antarpersonal yang sangat erat.Keterikatan emosional dan spiritual antara murid dan guru akan terus terjalin dan membekas hingga kapan pun.