Adab Murid Kepada Guru
Melanjutnya bahasan adab yang harus dilakukan seorang tholib (murid) kepada gurunya. Adab selanjutkan adalah seorang murid haruslah memiliki Adab Mendo’akan kebaikan kepada gurunya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ أَتَى إِليْكُم مَعْروفاً فَكَافِئُوه فَإِنْ لَمْ تَجِدوا فَادْعُوا لَهُ، حَتَّى يَعلَمَ أن قَد كَافَئْتُمُوه
“Apabila ada yang berbuat baik kepadamu maka balaslah dengan balasan yang setimpal. Apabila kamu tidak bisa membalasnya, maka doakanlah dia hingga engkau memandang telah mencukupi untuk membalas dengan balasan yang setimpal.” (HR. Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no. 216, lihat as-Shohihah 254)
Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata, “Hendaklah seorang penuntut ilmu mendoakan gurunya sepanjang masa. Memperhatikan anak-anaknya, kerabatnya dan menunaikan haknya apabila telah wafat” (Tadzkirah Sami’ hal. 91).
Adab selanjutnya yang harus dimiliki seorang murid adalah haruslah rendah diri kepada guru. Hal ini menurut Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata,
“Hendaklah seorang murid mengetahui bahwa rendah dirinya kepada seorang guru adalah kemuliaan, dan tunduknya adalah kebanggaan”(Tadzkiroh Sami’ hal. 88)
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma de¬ngan kemuliaan dan kedudukannya yang agung, beliau men¬gambil tali kekang unta Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu seraya berkata,
“Demikianlah kita diperintah untuk berbuat baik kepada ulama.” (as-Syifa 2/608)
Al-Khothib telah meriwayatkan dalam kitab Jami’nya bahwa Ibnul Mu’taz berkata: “Orang yang rendah diri dalam belajar adalah yang paling banyak ilmunya sebagaimana tempat yang rendah adalah tempat yang pa¬ling banyak airnya.” (Adab at-Tat¬almudz hal. 32)
Hal yang harus diperhatikan adalah tentang seorang murid haruslah menuntut ilmu tidak memilih-milih terutama karena kepopulerannya. Ibnu Jama’ah al-Ki¬nani berkata rahimahullah,
“Hendaknya seorang penuntut ilmu tidak hanya mencukupkan diri untuk belajar kepada guru-guru yang populer saja, karena hal itu dinilai oleh al-Ghozali termasuk kesombongan dan kebodohan. Ketahuilah bahwa kebenaran adalah seperti barang hilang yang dicari oleh seorang mukmin, dia akan mengambilnya dimana pun dia mendapatkannya dan berterima kasih kepada orang yang memberikan kepadanya. Demikian pula seorang penuntut ilmu, dia akan lari dari kebodohan seba¬gaimana dia lari dari singa. Dan orang yang lari dari singa, dia ti¬dak akan peduli siapa pun orang¬nya yang menunjukkan jalan keluar kepadanya.” (Tadzkiroh Sami’ fi Adabil Alim wal Muta’allim hal. 87)
Adab selanjutnya adalah mencontoh akhlak baik gurunya. Hendaklah seorang penun¬tut ilmu mencontoh akhlak dan kepribadian guru. Mencontoh kebiasaan dan ibadahnya. (Tadz¬kiroh Sami’ hal. 86)
Qoshim bin Salam menceritakan: “Adalah para murid Ibnu Mas’ud mereka belajar kepada¬nya untuk melihat akhlak, ke¬pribadian dan kemudian menirunya.” (Adab at-Tatalmudz hal. 40).
Imam as-Sam’ani menceritakan bahwa majelis Imam Ahmad bin Hanbal dihadiri lima ribu orang. Lima ratus orang menulis sedangkan selainnya hanya ingin melihat dan meniru adab dan akhlak Imam Ahmad. (Siyar AlamNubala11/316)
Hal yang juga harus diperhatikan adalah ketaatan karena guru taat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-NYA. . Imam asy-Syathibi berkata, “Walhasil, hendaklah seseorang tidak mengikuti ulama kecuali yang terpercaya menurut kaca mata syar’i. Yang selalu menegakkan hujjah, paling paham dengan hukum syar’i secara umum maupun terperinci. Maka acapkali yang diikuti tidak sesuai dengan syar’i dalam sebagian masalah, maka janganlah dijadikan hakim dan jangan ditiru kesalahannya yang menyelisihi syariat.” (al-I’thishom 1/535, Adab at-Tatalmudz hal. 42)
Adab selanjutnya, yakni adab apabila pelajaran sudah dimulai, murid atau seorang penuntut ilmu memperhatikan hal-hal berikut,
Menghadirkan hati dan perhatian dengan seksama
Apabila telah hadir dalam majelis ilmu maka pusatkanlah perhatianmu untuk mendengar dan memahami pelajaran. Jangan biarkan hati menerawang ke-mana-mana. Konsentrasi penuh, karena sikap yang demikian akan membuat pelajaran lebih membekas dan terpahami.
Ibnu Jama’ah berkata: “Hen¬daklah seorang murid ketika menghadiri pelajaran gurunya memfokuskan hatinya dan ber-sih dari segala kesibukan. Piki-rannya penuh konsentrasi, ti¬dak dalam keadaan mengantuk, marah, haus, lapar dan lain seba-gainya. Yang demikian agar hati-nya benar-benar menerima dan memahami terhadap apa yang dijelaskan dan apa yang dia de-ngar.” (Tadzkiroh Sami’ hal. 96)
Imam Hasan al-Bashri rahimahullahberkata: “Apabila engkau bermajelis maka bersemangatlah untuk mendengarkan daripada berbicara. Belajarlah bagaimana mendengar yang baik sebagaimana belajar berkata. Janganlah engkau memutus pembicaraan orang.”(Adab at-Tatalmudz hal. ,43)
Mengenakan pakaian yang bersih
Hal ini harus diperhatikan pula. Hendaklah seorang murid berpakaian yang sopan dan ber¬sih. Ingatlah ketika malaikat Jibril bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau sangat bersih pakaian dan keadaan dirinya. Umar bin Khoththob mengatakan: “Ketika kami duduk di sisi Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya bekas perjalanan jauh.” (HR. Muslim 8, Abu Dawud 4695, Tirmidzi 2610, Nasa’i 8/97, Ibnu Majah 63 dan selainnya.)
Karena kondisi yang bersih menandakan bahwa seorang murid siap menerima pelajaran dan ilmu. Maka jangan salah-kan apabila ilmu tidak mere-sap dalam dada karena kondisi kita yang kurang siap, pakaian penuh keringat, kepanasan dan sebagainya.
Duduk dengan tenang
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata: “Duduklah dengan duduk penuh adab. Jangan engkau luruskan kakimu di hadapannya, ini termasuk adab yang jelek. Jangan duduk dengan bersandar, ini juga adab yang jelek apalagi di tempat be¬lajar. Lain halnya jika engkau duduk di tempat umum, maka ini lebih ringan.” (at-Ta’liq as-Tsamin hal. 181)
Bertanya kepada guru
Ilmu adalah bertanya dan menjawab. Dahulu dikatakan, “Bertanya dengan baik adalah setengah ilmu.” (Fathul Bari 1/142) Apabila ada pelajaran yang tidak dipahami maka bertanyalah ke¬pada guru dengan baik. Bertanya dengan tenang, tidak tergesa-gesa dan pergunakanlah bahasa yang santun lagi sopan. Jangan guru itu dipanggil dengan namanya, katakanlah wahai guruku dan semisalnya. Karena guru perlu dihormati, jangan disamakan de-ngan teman. Allah Ta’ala berfirman,
لَا تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُم بَعْضاً
"Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul di antara kamu seperti pang¬gilan sebahagian kamu kepada seba-hagian (yang lain) … (QS. an-Nur [24]: 63)
Ayat ini adalah pokok untuk membedakan orang yang punya kedudukan dengan orang yang biasa. Harap dibedakan keduanya. (al-Faqih wal Mutafaqqih, Adab at-Tatalmudz hal. 52)
Sering kita jumpai se¬bagian para penuntut ilmu memaksa gurunya untuk menjawab dengan dalil atas sebuah pertanyaan. Seolah-olah sang murid belum puas dan terus mendesak seperti berkata kenapa begini, soya belum terima, siapa yang ber¬kata demikian, semua ini harus dihindari. Pahamilah wahai saudaraku, guru adalah manusia biasa, bisa lupa dan bersalah.
Apabila engkau pandang gurumu salah atau lupa dengan dalilnya maka janganlah engkau memaksa terus dan jangan memalingkan muka darinya. Berilah waktu untuk mendatangkan dalil di kesempatan lain. Jagalah adab ini, jangan sampai sang guru menjadi jemu, marah hanya karena melayani pertanyaanmu.
Syaikh al-Albani berkata: “Kadangkala seorang alim tidak bisa mendatangkan dalil atas se¬buah pertanyaan, khususnya apa¬bila dalilnya adalah sebuah istinbat hukum yang tidak dinashkansecara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Semisal ini tidak pantas bagi penanya untuk terlalu mendalam bertanya akan dalilnya. Menyebutkan dalil adalah wajib ketika realita menuntut demikian. Akan tetapi tidak wajib baginya acapkali ditanya harus menjawab Allah berfirmandemikian, Rosul bersabda demikian, lebih-lebih dalam perkara fiqih yang rumit yang diperselisihkan.
Wallahu a'lam. (bersambung)